Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya Tentang Manusia Ideal
Intisari
This
article aims at exploring Gandhi’s thought on the concept of perfect
man and interpreting its historical dynamic in order to seek the
relevance of such concept to overcome contemporary human problems. The
concept of perfect many, for Gandhi, is characteristically
antropocosmotheocentric, meaning that man who have good self awareness
and self control, social maturity and care of their nature, and believe
in God through religion as well as service for the others. Also they
have a principle to live in peace and without any kinds of violence. By
realizing these, man is expected to be able to anticipate the unended
change of their civilization of life. The basic weakness of this concept
is the imbalance relationship between such concept of perfect man and
the man in real life. It means such perfect man is a kind of utopia to
realize.
A. Manusia Modern Yang Mengalami Krisis
Secara
umum diyakini bahwa manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial dan
makhluk Tuhan. Dalam posisi seperti ini, manusia akan selalu berada
dalam jaringan struktur dan institusi yang diciptakannya untuk menunjang
kehidupannya. Inilah yang kemudian melahirkan peradaban manusia.
Sekarang,
manusia telah berada pada fase yang disebut peradaban modern. Fase ini
ditandai dengan kemajuan rasionalitas manusia secara pesat. Akibatnya,
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi dimensi yang meliputi dan
menjangkau seluruh kehidupan manusia. Manusia dapat memperpanjang
tangannya, memperkuat ototnya, menyambung indera dan otaknya, dengan
bantuan iptek. Bahkan, dengan iptek manusia mampu mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan terhadap adanya kehidupan lain bagi manusia di
luar kehidupan planet bumi. Pendek kata, seperti dinyatakan Erich Fromm,
manusia telah mencapai era sejarah baru, dimana perubahan yang cepat
merupakan suatu konsekuensi yang dominan. Manusia berhadapan dengan
perubahan yang fundamental karena ia terlibat dalam proses evolusioner,
sehingga merupakan kewajiban bagi manusia juga untuk mengarahkan proses
ini ke arah pemahaman diri dan bukan penghancurannya.
Memang
benar, usaha pemahaman diri manusia sangat diperlukan dan bersifat
ad-infinitum (terus-menerus, tiada henti). Hal ini karena kemajuan yang
dicapai manusia dalam peradaban modern ternyata membawa keresahan dan
kegelisahan. Van derWeij menyatakan bahwa zaman modern ini, selain
ditandai oleh pesatnya kemajuan dibidang iptek, juga ditandai adanya
keterancaman, keterasingan, kejenuhan dan tanpa arti, perang yang
disertai badai kekerasan, kebencian dan ketidakmanusiawian serta
terorisme. Namun, yang lebih luas dari semua itu adalah bukannya
kekerasan fisik, melainkan pembusukkan kepribadian dan hati nurani
manusia. Hal ini karena manusia telah memperoleh kemajuan pesat dibidang
iptek, tetapi sering menggunakannya untuk maksud-maksud yang
destruktif. Manusia memang telah memperluas jangkauan dan kuantitas
pengetahuannya, tetapi belum dapat mendekati ideal individualitas dan
realitas diri (self realization). Manusia telah menemukan cara-cara
untuk memperoleh keamanan, kenyamanan dan kenikmatan hidup, tetapi pada
saat yang sama mereka merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak nikmat
serta merasa risau dan gelisah karena mereka tidak yakin akan arti
esensial kehidupan dan tidak tahu arah eksistensial yang mereka pilih
dalam kehidupannya.
Balabanian mencatat beberapa krisis manusia
dan kemanusiaan yang terjadi di era modern ini yakni: (1)Krisis
spiritual, dengan semakinnya memudarnya peranan agama dalam kehidupan
manusia, (2)Kritis lingkungan, dengan adanya polusi dan eksploitasi
secara besar-besaran terhadap sumber daya alam, (3) Krisis emosional
psikologis, dengan digantikannya nilai-nilai kemanusiaan menjadi
nilai-nilai mesin (mekanik). Semua krisis tersebut sebenarnya disebabkan
oleh manusia sendiri. Manusia menjadi dibelenggu oleh alat-alat teknik
yang dibuatnya dan hidup secara mekanis mengikuti buatannya itu.
Akibatnya, seperti dinyatakan oleh Jacques Ellul, muncul situasi sebagai
bentuk ketegangan yang di alami oleh manusia modern akibat
penyerapan-penyerepan mekanisme secara berlebihan. Rasionalitas melalui
iptek akhirnya menjadi faktor mutlak yang menentukan perkembangan
kehidupan manusia. Semua krisis yang sebabkan oleh manusia sendiri tadi,
selain mengancam kehidupan manusia sekarang, juga mengancam
kelangsungan hidup manusia yang akan datang.
Untuk menyelesaikan
problem manusia modern seperti di atas, salah satu tokoh abad XX yakni
Mahatma Gandhi (1869-1948) dari India telah menawarkan konsepnya tentang
manusia ideal. Mengenai apa dan bagaimana konsep manusia ideal menurut
Gandhi, hal-hal itulah yang akan dieksplorasi secara lebih jauh dan
lebih mendalam dalam tulisan dibawah ini.
B. Riwayat Gandhi, Riwayat Sang Mahatma
Mahatma
Gandhi sebenarnya memiliki nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Ia
lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, daerah Kathiawad, Gujarat, dari
kasta Mohd. Bania yang merupakan sub-kasta Vaisya dalam agama Hindu.
Ayah Gandhi bernama Karamchand Gandhi, atau yang lebih dikenal dengan
Kaba Gandhi adalah seorang diwan (menteri utama) di Porbandar yang
bertugas menarik pajak rakyat. Ibu Gandhi bernama Putlibai, seorang
wanita yang mengesankan Gandhi karena kesalehannya dan ia dalam
pandangan Gandhi merupakan istri dan ibu yang setia bagi suami dan
anak-anaknya.
Dari orang tua seperti diataslah Gandhi dilahirkan
dan kemudian dibesarkan serta memperoleh pendidikan. Semasa pendidikan
dasarnya, Gandhi kecil termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar
terutama dalam berhitung dan perkalian. Meski demikian, ia merupakan
anak yang tekun. Ia juga sering mendengarkan diskusi-diskusi ayahnya
dengan para pemuka agama lain seperti Jainisme, Islam dan Kristen yang
datang kerumahnya untuk berdiskusi tentang agama-agama. Sementara,
semasa pendidikan menengahnya, Gandhi remaja masih malu-malu sampai ia
mengakui bahwa ia tidak punya banyak teman kecuali buku-buku
pelajarannya.
Pada masa ini, ketika berusia 13 tahun, dengan tanpa
persetujuannya Gandhi dinikahkan dengan gadis sebayanya yang bernama
Kasturbai. Sebagai pasangan muda, kehidupan pernikahan Gandhi dengan
Kasturbai tidaklah begitu stabil, terutama yang menyangkut seks. Suatu
peristiwa yang selanjutnya mengubah cara hidup Gandhi adalah peristiwa
yang terjadi menjelang ayahnya meninggal dunia. Waktu itu Gandhi sedang
menunggui ayahnya yang terbaring lemah karena sakit, tetapi kemudian
muncul keinginannya untuk berdekatan (berhubungan seks) dengan istrinya.
Gandhi lalu meminta pamannya untuk menggantikannya menunggui sang ayah.
Namun, ketika Gandhi sedang dikamar istrinya, ia diberitahu pelayannya
bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Seketika itu ia menyesali
kecerobohannya (yang kurang bisa mengontrol hasrat seksualnya) dan
dikemudian hari membuatnya mengucapkan kaul pengekangan diri (Tapas).
Gandhi
menyelesaikan pendidikan menengahnya tahun1887 dan lulus ujian
matrikulasi di Universitas Bombay serta berhasil masuk di Samaldas
College di Bhavnagar. Karena merasa kurang puas, Gandhi mencari
informasi agar bisa belajar di Inggris sesuai cita-citanya waktu kecil.
Akan tetapi, muncul larangan keras terutama dari ibunya yang khawatir
dengan kehidupan dan budaya masyarakat Inggris, sehingga kemudian Gandhi
bersumpah tidak akan menyentuh wanita, tidak minum anggur dan tidak
makan daging jika diterima belajar di Inggris. Pada tahun 1888, Gandhi
akhirnya tiba di Inggris untuk belajar ilmu hukum, meski perhatiannya
tidak hanya pada ilmu hukum saja. Di Inggris, Gandhi juga sudah mulai
terbiasa membaca Alkitab terutama Perjanjian Baru dan juga membaca
Bhagavadgita terjemahan Sir. Edwin Arnold.
Setelah 3 tahun di
Inggris, Gandhi lulus ujian ilmu hukum dan diakui sebagai pengacara
berijasah. Gandhi kembali ke India pada bulan Juni 1891 dan bekerja
sebagai pengacara sambil nyambi bekerja paruh waktu sebagai guru di
Bombay High School. Akan tetapi, Gandhi selanjutnya memilih meninggalkan
pekerjaanya di India karena mendapat tawaran dari sebuah perusahaan
India di Natal, Afrika Selatan untuk membela orang-orang India di sana
yang mengalami penderitaan akibat adanya rasialisme dan gaji kerja yang
tidak memadai. Gandhi akhirnya pergi ke Afrika Selatan dan dalam usaha
mengembalikan hak-hak asasi orang India di Natal ini ia mendirikan
Ashram di Phoenix .
Keberadaan dan aktivitas Gandhi dan yang lain
di Ashram dianggap membahayakan oleh pemerintah setempat sehingga pada
1907 Gandhi ditahan serta diadili dengan tuduhan sebagai agitator
(pemimpin gerombolan). Penahanan itu memang tidak berlangsung lama
karena Gandhi tidak terbukti bersalah dan kemudian ia dibebaskan.
Melajutkan aktivitasnya, pada 1912 Gandhi memobilisasi aksi protes
massal kaum buruh secara besar-besaran, karena janji pemerintah untuk
menghapus pajak 3 pounds setahun atas pekerjaan yang diadakan di luar
kontrol resmi tidak ditepati. Kemudian pada tahun 1913 Gandhi juga
memimpin demonstrasi untuk hal yang sama. Bedanya, dalam demonstrasi ini
juga diadakan pelanggaran lintas batas dan ziarah menyeberangi
batas-batas ke Transvaal di mana ribuan buruh tambang yang mogok kerja
ikut menggabungkan diri.
Karena merasa panggilan hidupnya tidak
hanya di Afrika Selatan saja, pada 1915 Gandhi kembali ke India. Pada
awalnya Gandhi tidak banyak berkecimpung dalam aktivitas politik tetapi
mengadakan perjalanan keliling India untuk mencari fakta-fakta tentang
kondisi sosial, ekonomi dan agama rakyat India. Menyikapi buruknya
kondisi rakyat India pada saat itu, pada tahun 1916 Gandhi memutuskan
untuk terjun ke dunia politik dimulai dengan berpidato didepan mahasiswa
Universitas Hindu di Benares. Di sini Gandhi mengemukakan pentingnya
kebanggaan terhadap produk lokal India dan juga menyesalkan sistim Kasta
yang telah menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan agama secara
meluas. Pada 1917 Gandhi menyelenggarakan kampanye anti kekerasan
(ahimsa) di Bihar (India utara) untuk membela kaum petani yang
diperlakukan tidak adil dalam sistim perkebunan Indigo. Selanjutnya pada
1918 Gandhi dan pengikutnya melakukan mogok umum tanpa kekerasan di
Ahmedabad untuk menuntut upah pekerja tekstil secara adil.
Gandhi
mulai menggebrak pentas politik India dengan mengemukakan kelemahan
Undang-Undang Rowlatt yang berisi aturan-aturan untuk menjaga keamanan
tanpa mengindahkan hak-hak rakyat India. Gandhi menentang lahirnya UU
ini dengan menjalankan gerakan berpegang teguh pada kebenaran
(satyagraha) dan salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan gerakan
tidak mau bekerja sama (non-cooperatioon movement). Rentang 1920 sampai
1922, Gandhi terpilih sebagai pemimpin Partai Konggres Nasional India.
Pada periode ini Gandhi juga sempat memimpin kampanye massal melawan
pembayaran pajak yang tidak adil. Karena kegiatan-kegiatannya itu,
Gandhi dijebloskan ke penjara selama 2 tahun tetapi karena alasan
kesehatan ia kemudian dibebaskan. Saat ia keluar dari penjara, iklim
politik di India telah berubah dengan mulai berkobarnya perselisihan
antara kaum Hindu dan Muslim.
Selama periode-periode selanjutnya,
Gandhi sangat berjasa dalam mengubah ketimpangan sosial yang ada di
India antara lain penghapusan gerakan untouchable yang merugikan kasta
Paria, toleransi beragama bagi kaum Hindu dan Muslim, serta usaha
swadeshi sebagai penolakan terhadap dominasi asing. Gandhi juga berjasa
dalam penyelesaian pergolakan buruh dan majikan, penghapusan sistim
perbudakan dan penghapusan pembunuhan lembu atas nama agama.
Demikianlah, tahap demi tahap Gandhi memimpin India menuju
kemerdekaannya yang sempat ia saksikan pada tahun 1947.
Pada 3
Juni 1947 berdasarkan kesepakatan Mounbatten Plan antara pemimpin
Konggres Islam dan Inggris tercapai pembentukan negara India dan
Pakistan pada Agustus 1947. Menanggapi pembentukan negara tanpa adanya
persatuan seluruh India, Gandhi berusaha mendekati tokoh agama Hindu dan
Islam untuk meredakan ketegangan antara keduanya. Akibatnya, seorang
penganut Hindu fanatik, Nathuram Godse, yang khawatir nantinya akan ada
dominasi Islam, melakukan penembakan terhadap Gandhi saat sesudah
pertemuan doa pada 30 Januari 1948. Setengah jam kemudian Gandhi
menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mengucapkan He Rama (Ya
Tuhan).
Demikian riwayat hidup Gandhi. Atas seluruh jasanya,
Rabindranath Tagore, seorang sastrawan besar India, menyebut Gandhi
sebagai Mahatma atau orang yang berjiwa besar (the great soul). Inilah
yang kemudian membuat orang mengenalnya sebagai Mahatma Gandhi.
C. Gandhi : Seorang Aktivis Yang Produktif Menulis
Fischer
menyatakan bahwa Mahatma Gandhi adalah juru bicara umat manusia.
Ungkapan ini didasarkan pada aktivitas-aktivitas dan karya-karya Gandhi
selama hidupnya. Gandhi meninggalkan tulisan yang cukup banyak dan
kebanyakan dapat kita lihat corak humanismenya. Karya-karya tersebut
antara lain: A Guide to Health (1932), Hind Swaraj (1938),
Autobiograhpy: The Story of My Experiments with The Truth (1940), Non
Violence in Peace and War (Vol. 1/1945 dan 2/1949), Towards Non Violence
Socialism (1951), Sarvodaya (1951), Basic Education (1951), Bapu’s
Letter to Mira, 1924-1948 (1949), Christian Missions (1941), Communal
Unity (1949), Delhi Diary (1948), Diet and Diet Reform (1949), Economics
of Khadi (1941), For Pacifists (1949), From Yerafde Mandir (1937),
Harijan (1948), The History of Satyagraha (1951), Jail Experiences
(1922), My Souls Agony (1932), Rebuilding Our Villages (1952), Self
Restraint Versus Self Indulgence (1947), Songs From Prison (1934),
Speeches and Writing (1933), Swadeshi, True and False (1939), Towards
New Education (1951), To a Gandhian Capitalist (1951), To the Students
(1949), Unto This Last (1951), Woman and Social Unjustice (1942) dan
Young India (1932). Selain karya-karya ini, masih banyak lagi
kumpulan-kumpulan tulisan Gandhi yang tersebar di berbagai surat kabar.
D. Gandhi dan Filsafat Metafisikanya
1.Filsafat Gandhi: Tuhan, Manusia dan Alam Sebagai Tri-Tunggal
Secara
umum filsafat Gandhi bersumber pada tradisi pemikiran India dan agama
Hindu. Dalam hal ini, filsafat Gandhi menunjuk Tuhan sebagai ide utama
dan unsur lainnya bersifat inferior. Tuhan yang dimengerti Gandhi
bukanlah Tuhan sebagai personal karena kata itu menurut Gandhi menunjuk
pada orang sebagai wujud konkrit. Meski impersonal, namun Tuhan yang
memuaskan kebutuhan intelektual juga bukan Tuhan yang sesungguhnya.
Tuhan sesungguhnya adalah yang memerintah hati dan mengubahnya ke arah
kebaikan. Menurut Gandhi Tuhan itu serentak sebagai kebenaran,
pengetahuan dan cita-cita/tujuan (sat-cit-ananda).
Harus diingat
juga bahwa Gandhi tidak berpretensi untuk menunjukan eksistensi Tuhan.
Baginya, kehadiran Tuhan dapat dirasakan dan dilihat dari realitas
dihadapan manusia, misalnya realitas alam yang teratur. Keteraturan alam
bukanlah suatu hukum keteraturan yang buta sebab ia mempunyai arah.
Hukum semacam ini oleh Gandhi dipahami sebagai Tuhan.
Selanjutnya,
jalan menemukan Tuhan bagi Gandhi, adalah dengan melihat
ciptaan-ciptaan-Nya. Bahkan Gandhi menyebut dirinya sedang berusaha
keras melihat Tuhan melalui pelayanan kepada sesama manusia. Pendeknya,
realitas manusia tidak semata-mata ordo alam tetapi juga ordo moral.
Gandhi mengakui apa yang benar, yang berguna, dan yang menguntungkan
bagi manusia itu tidak ada perbedaannya. Bagi Gandhi Tuhan itu tidak di
surga ataupun neraka tetapi berada pada setiap orang dan inilah
kebenaran. Pemikiran ini memuat gagasan bahwa meskipun manusia tidak
mengakui adanya Tuhan, tetapi ia harus mengakui kebenaran. Menolak
kebenaran berarti menolak realitas dan eksistensi manusia itu sendiri.
Kebenaran,
dalam pemikiran Gandhi mencakup tida unsur yakni kebenaran pikiran,
perkataan dan perbuatan. Sebagai norma tingkah laku, kebenaran merupakan
cermin bagi manusia untuk berkomunikasi dan mempertimbangkan apa yang
akan ia ikuti dan ia hindari. Adapun untuk mencapai kebenaran ini
manusia harus bersatu dan berdamai dengan alam ciptaan Tuhan dengan cara
Ahimsa. Ahimsa berarti bahwa manusia harus menghindari segala bentuk
kekerasan dalam kehidupannya. Ahimsa juga merupakan kodrat manusia yang
membedakannya dengan binatang. Manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan
raga harus membuat ahimsa sebagai suatu sikap hidup dan keyakinan yang
harus dikembangkan sehingga ia benar-benar berpegang kepada kebenaran
yang sesungguhnya (satyagraha).
Dari uraian di atas, kita bisa
melihat bahwa dalam konteks tri-tunggal: Tuhan, manusia dan alamlah
Gandhi meletakan kerangka filsafatnya, meski unsur Tuhan paling dominan,
dalam arti bahwa alam sebagai landasan, manusia sebagai pelaku dan
Tuhan sebagai pencapaian tertinggi dari tinggal landasnya manusia.
2. Antropologi-Metafisik Gandhi: Manusia Sebagai Pelaku
Mengenai
keberadaan manusia, Gandhi menyatakan bahwa secara esensial manusia
terdiri dari jasmani dan rohani. Selain itu manusia juga memiliki
kesadaran, rasio, kehendak, emosi dan rasa keindahan. Dari keberadaannya
itu, esensi aktivitas manusia di dunia menurut Gandhi adalah
pembebasan. Pembebasan manusia merupakan satu langkah ke arah pembebasan
seluruh umat manusia dari kedzaliman dan kekerasan dari orang lain dan
dari diri mereka sendiri.
Gandhi juga menyatakan bahwa manusia
tidak akan bebas jika ia tidak mengetahui bahwa dirinya dikuasai oleh
kebutuhan, sebab kebebasannya selalu dimenangkan melalui upaya yang
tidak pernah berhasil seluruhnya untuk melepaskan diri manusia dari
kebutuhan hidup dan sampai penyatuan dengan hidup. Manusia memiliki
kebebasan untuk mengarahkan dirinya menuju kepada penyatuan dengan hidup
atau malah terjerumus dalam kejahatan. Setiap perbuatan memiliki
karma-nya sendiri-sendiri. Dalam hal ini Gandhi menekankan pelaksanaan 6
kebajikan tertinggi yang dijiwai oleh Filsafat India yakni ahimsa,
satyagraha, brachmacharya, asteya, aparigraha dan abhaya.
a. Ahimsa
Secara
ekstrim, seperti dalam agama Jain, ahimsa dimaknai sebagai tidak
membunuh atau melukai setiap bentuk kehidupan, tidak berpikir tentang
pembunuhan atau melukai setiap bentuk kehidupan. Pemikiran ini juga
menganjurkan orang awam untuk hanya memakan organisme yang tak bergerak
seperti tumbuh-tumbuhan. Bagi Gandhi ahimsa memang tidak se-ekstrim itu,
tetapi nilai-nilai untuk menahan diri dari setiap usaha membunuh dan
melukai setiap bentuk kehidupannya sama.
Tindakan ahimsa menurut
Gandhi tidak bersifat statis melainkan dinamis. Contohnya, jika ada
anjing gila yang mengancam keselamatan masyarakat sedang berkeliaran,
maka membunuh anjing gila tersebut juga dibolehkan karena bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa anggota masyarakat dan menghentikan siksaan
yang dialami anjing gila itu sendiri. Ahimsa juga merupakan kebajikan
tertinggi, sebab tanpanya kebenaran tidak akan dapat direalisasikan. 2
hal penting dari ahimsa yakni: kewajiban untuk memperlakukan realitas
sebagaimana diri sendiri, dan ahimsa sebagai induk kebajikan yang lain.
b. Satyagraha
Satyagraha
berarti kebenaran, dan kebenaran yang dapat direalisasikan dalam
pikiran, perkataan dan perbuatanlah yang dapat disebut benar. Manusia
dapat merealisasikan kebenaran hidup jika mampu mengendalikan 6
rintangan dalam etika India yakni, hawa nafsu, rasa marah, keserakahan,
kebirahian, kesombongan dan kepalsuan. Ke-enam hal itu juga merupakan
pengetahuan dasar bagi pecinta kebenaran.
Dalam arena politik,
Gandhi menyatakan bahwa satyagraha mengambil 3 bentuk yakni;
ketidakpatuhan sipil (civil disobedience), menolak kerja sama
(non-cooperation) dan unjuk rasa (direct action). Dari berbagai bentuk
tadi masih ada satyagraha dalam bentuk yang lain yakni puasa (mogok
makan), yang diakui sebagai senjata pamungkas bagi seorang satyagrahi.
Artinya, puasa baru dijalankan jika cara-cara di atas sudah tidak mempan
lagi. Bagi Gandhi, puasa merupakan pendekatan yang efektif sebab puasa
tidak hanya bertujuan untuk menyadarkan pihak lain agar bertobat dan
kembali ke jalan yang benar, tetapi juga merupakan sarana pemurnian diri
termasuk di dalamnya intensi-intensi pribadi.
c. Brachmacharya
Secara
harafiah brachmacharya berarti tingkah laku yang menuntun manusia
kepada Tuhan. Secara teknis berarti pengekangan diri terutama penguasaan
dan pengendalian organ seks. Gandhi berpendapat bahwa Brachmachari
(orang yang menjalankan brachmacharya) yang sempurna, sama sekali tidak
memiliki dosa karena mereka dekat dengan Tuhan.
Brachmacharya
mangandung beberapa ajaran antara lain: nafsu seks berakar dalam
pikiran, praktek bracmacharya menghindari hal erotis, pembatasan
aktivitas seks, diet, menghormati wanita, pengaturan kehidupan seks,
perkawinan, keluarga serta mengontrol kelahiran.
d. Aparigraha
Secara
ekstrim berarti memberikan harta milik pada orang lain. Tindakan ini
merupakan pandangan tanpa milik. Meski demikian sebenarnya aparigraha
bukan berarti orang tidak boleh memiliki harta duniawi, tetapi dalam
kerangka pengabdian pada Tuhan dan pelayanan sesama manusia. Menurut
Gandhi seluruh ordo sosial harus disusun kembali untuk membentuk
masyarakat perwalian. Dalam masyarakat ini, kepemilikan dilihat sebagai
titipan yakni apa yang aku miliki memungkinkan untuk kamu pergunakan;
yakni alat produksi merupakan milik bersama. Implikasinya adalah
tercukupinya kebutuhan dasar setiap manusia
Gandhi menyadari betul
akibat fatal dari kemiskinan, tetapi ia juga menyadari akibat dari
melimpahnya kekayaan. Keduanya memiliki dampak negatif yang sama.
Pernyataan itu menunjukan bahwa bagi Gandhi manusia harus memiliki
kesadaran terhadap dua dimensi hakikat manusia; yakni bahwa dimensi
materialitas manusia tidak dapat dipisahkan dengan dimensi
spiritualitasnya. Dalam aparigraha, Gandhi menegaskan bahwa kasih sayang
yang sempurna hanya dapat direalisasikan melalui ajaran tanpa milik.
Tubuh manusia adalah miliknya yang terakhir.
e. Asteya
Asteya
diartikan sebagai tidak mencuri dan hal ini merupakan dasar bagi
penentuan hak milik seseorang. Gandhi menyakatan bahwa mencuri merupakan
tindakan yang salah dan buruk karena merugikan orang lain dan merupakan
tindakan himsa, padahal manusia seharusnya melindungi semua realitas
dan bukannya malah merugikannya.
f. Abhaya
Abhaya diartikan
sebagai bebas dari semua rasa takut seperti takut akan mati, rasa lapar,
penghinaan, penganiayaan, murka dan yang sejenisnya. Dalam hal ini
manusia dituntut untuk memiliki keberanian, berani berkorban, bersabar,
berbuat tanpa ketakutan pada semua realitas. Menurut Gandhi, manusia
harus bebas dari rasa takut karena hal itu tidak pernah menjadi dasar
moral.
3. Kosmologi-Metafisik Gandhi: Alam Sebagai Landasan
Konsep
Gandhi tentang alam yang berjiwa material dan immaterial sebenarnya
hanya mengikuti konsepnya tentang Tuhan, meski tidak terformulasi secara
sistematis pada suatu tempat, hanya pada kesempatan secara kausal.
Sebagai ciptaan Tuhan, keberadaan alam merupakan arena manusia
mewujudkan dirinya dengan bimbingan moral. Bagi Gandhi, manusia hidup
dalam arti yang sebesar-besarnya apabila ia bersatu dengan alam. Alam
merupakan mitra yang senantiasa berhadapan dengan manusia. Menurut
keyakinan Gandhi, alam merupakan jembatan bagi kehidupan yang abadi,
sejauh hal itu di mengerti secara sadar. Oleh karena itu manusia perlu
menyeleraskan diri dengan alam. Hal ini juga akan mendekatkan manusia
pada peletak hukum alam yakni Tuhan.
Keprihatinan Gandhi terhadap
alam diartikan sebagai kebijaksanaan untuk kembali ke alam (back to
nature). Keyakinannya pada harmoni antara alam dan tubuh manusia di
wujudkannya dalam kegemarannya pada naturopaty. Bagi Gandhi alam juga
bukan merupakan manusia sehingga manusia tidak boleh menggunakan
kekerasan terhadap alam yang justru akan merugikan manusia sendiri.
4. Teologi-Metafisik Gandhi: Tuhan Sebagai Pencapaian tertinggi
Dalam
seluruh filsafatnya, Gandhi memang menjadikan Tuhan sebagai titik
sentralnya sedang unsur lainnya menyesuaikan dengan Tuhan dan bersifat
inferior. Beriman kepada Tuhan, menurut Gandhi, juga merupakan pangkal
tolak semua agama. Dengan menyebut agama, Gandhi menunjuknya bukan
secara formal dan adat, melainkan sesuatu yang mendasari semua agama
yang akan membawa kita bertemu dengan Tuhan. Agama juga merupakan unsur
permanen dalam watak manusia yang tidak memperhitungkan berapapun
harganya untuk mengungkapkan sepenuh-penuhnya serta membuat jiwa gelisah
sampai dapat menemukan dirinya, mengenal Tuhannya dan menghargai
hubungan yang sebenarnya antara Tuhan dan dirinya sendiri.
Gandhi
memandang agama dengan menekankan nilai kemanusiaannya. Jadi, Tuhan
dihayati Gandhi melalui semangat pengabdian. Semangat ini tidak hanya
mengantarkan pada sikap toleransi terhadap pluralitas (kemajemukan)
agama tetapi juga pada persaudaraan antara yang teis dan ateis dengan
syarat ateis itu berusaha menuju kebenaran. Makanya meski Gandhi
menyatakan God is Truth dan Truth is God, Gandhi menekankan yang
terakhir dengan alasan bahwa yang ateis mungkin menolak eksistensi
Tuhan, tapi mereka tidak mungkin menangkis kekuatan kebenaran.
Penghormatan
pada agama lain adalah sama dengan agama sendiri. Oleh karena itu
seharusnya tidak mungkin ada gagasan untuk berpindah agama. Manusia yang
beragama dalam bersikap dan bertingkah laku harus mencerminkan
keagamaannya. Moralitas merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan
manusia. Agama dan moralitas adalah identik. Eksistensi dan kemajuan
individu maupun masyarakat tergantung moralitasnya. Oleh karena itu
pembersihan diri secara total, baik jiwa maupun raga sangat di anjurkan
Gandhi. Orang harus membuang segala pikiran yang tidak baik dan jiwanya
harus diisi dengan pikiran murni yang tinggi. Demikian juga tubuh harus
bersih seperti jiwa. Dengan demikian orang akan insaf pada tujuan hidup
yang paling murni yakni mengabdi pada Tuhan.
E. Gandhi dan Konsep Manusia Ideal
1. Manusia Ideal Yang Bersifat Antropokosmoteosentris
Secara
garis besar, konsep manusia ideal menurut Gandhi bersifat
antropokosmoteosentris. Manusia seperti ini adalah manusia dengan
pengendalian diri yang baik, kedewasaan sosial dan mencintai alam serta
penghayatan terhadap keberadaan Tuhan melalui agama yang dianutnya dalam
kehidupannya yang dijalani secara damai dan tanpa kekerasan. Dengan
konsep manusia ideal seperti ini, Gandhi mencoba menciptakan sebuah
lingkup kemanusiaan universal di mana tiap-tiap kelompok, baik kaum
penguasa maupun kaum tertindas, saling mengakui sebagai manusia yang
sama derajat dan harkatnya sebagai manusia, bahkan menghidupkan kembali
potensi kebaikan orang lain dalam kehidupan manusia
2. Manusia Dengan Kesadaran dan Pengendalian Diri
Dalam
agama Hindu dikenal asumsi dasar bahwa manusia terdiri dari 4 lapisan
yakni; lapisan tubuh jasmani, alam pikiran, pengalaman yang disadarinya
dan sadar pribadi dimasa lampau. Agama Hindu juga mengajarkan bahwa jika
manusia dapat memanfaatkan sedikit saja atman dalam tubuhnya, maka ia
akan mengalami pemekaran kemampuan yang luar biasa.
Berdasarkan
asumsi di atas, Gandhi sampai pada kesimpulan bahwa manusia harus
berusaha mengungkap bagian yang hilang atau terpendam dalam tubuh
manusia dengan mencapai kesadaran. Dalam hal ini Gandhi menambahkan
bahwa mokhsa merupakan puncak dari kesadaran manusia karena ia berada
dalam keadaan di mana badan, pikiran dan jiwanya selamat dari kelahiran
kembali atau kematian. Kesadaran adalah menjadi ingat kepada jati diri
manusia yang sesungguhnya sehingga mampu mengendalikan dirinya.
Ketidakmampuan mengambil jarak dengan sesuatu yang berada di luar
dirinya dan juga nafsu-nafsunya merupakan hambatan untuk menyadari atman
dan hal ini akan mengakibatkan sesuatu terlahir kembali dan ini mungkin
akan menjatuhkannya pada tingkat yang berada di bawahnya.
Menurut
Gandhi, manusia perlu mengendalikan diri karena peradaban dalam makna
kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghendaki
dilipatgandakannya kebutuhan, melainkan menghendaki pembatasan segala
kebutuhan dengan sengaja dan sukarela. Hanya dengan cara demikian akan
dapat diperoleh kebahagiaan dan kepuasan sejati yang akan meningkatkan
kemampuan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan. Hal ini bertentangan
dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern yang menggunakan tolak
ukur tingkat kesejahteraan manusia dengan mengukurnya berdasarkan
tingkat besarnya konsumsi. Manusia modern justru berasumsi bahwa semakin
tinggi tingkat konsumsi kebutuhan hidup, manusia berarti lebih kaya dan
sejahtera.
Memang, Gandhi sendiri menegaskan bahwa manusia
memerlukan keserasian dan kenyamanan fisik pada tingkat tertentu, namun
jika melebihi tingkat itu ia akan menjadi hambatan bagi manusia. Oleh
karena itu, cita-cita manusia menciptakan dan memenuhi kebutuhan hidup
yang tidak terbatas, hanya merupakan khayalan dan jerat belaka. Pemuasan
kebutuhan fisik dan intelektual manusia pada titik tertentu harus
dihentikan sepenuhnya sebelum ia berubah menjadi nafsu keserakahan fisik
dan intelektual. Manusia perlu mengatur keadaan fisik dan budayanya
agar tidak menjadi hambatan dan ini seharusnya menjadi tujuan bagi
pemusatan seluruh tenaga manusia.
3. Manusia Dengan Kedewasaan sosial dan mencintai alam
Selain
sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan, manusia juga adalah makhluk
sosial karena ia hanya dapat hidup dengan komunikasi bersama sesamanya.
Sesama dalam filsafat Gandhi bermakna religius, dimana keterpautan
sesorang dengan yang lainnya bersifat religius dan merupakan tanggung
jawab yang bersifat religius pula. Sesama juga berarti dari asal mula
yang sama, nasib keterlemparan yang sama dan memiliki Tuhan yang sama.
Semua manusia menurut Gandhi merupakan ciptaan Tuhan yang sama sehingga
semua manusia bersaudara.
Dengan asumsi seperti di atas, manusia
menurut Gandhi harus memiliki tingkat kedewasaan sosial yang tinggi.
Tidak ada satu kebajikan tunggalpun yang akan mengarah atau akan merasa
puas dengan kesejahteraan seseorang saja. Sebaliknya tidak ada kejahatan
yang secara langsung maupun tidak, pasti akan mempengaruhi orang lain.
Yang dimaksud kedewasaan sosial oleh Gandhi adalah kesadaran bahwa
seluruh umat manusia merupakan kesatuan manunggal, sebagai ciptaan Tuhan
yang satu. Tentu saja terdapat perbedaan suku, bangsa dan harkat serta
martabat namun demikian saling menghormati merupakan kewajiban seluruh
umat manusia.
Manusia juga harus mencintai alam, tempat dimana ia
hidup. Sekalipun dalam alam cukup terdapat daya tolak, tetapi alam itu
hidup berkat daya tarik. Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa
sayang timbal balik. Manusia hidup bukan karena penghancuran. Rasa cita
diri mendorongnya untuk mementingkan orang lain pula. Masyarakat dapat
hidup rukun karena adanya rasa saling mengindahkan dikalangan warganya.
Pada suatu saat, hukum masyarakat harus diperluas manusia agar mencakup
seluruh alam semesta.
Gandhi menegaskan bahwa menurut keyakinannya
krisis manusia modern sekarang diakibatkan oleh keranjingan produksi
massal atau produksi secara besar-besaran. Alat-alat mesin mungkin dapat
menyediakan seluruh barang keperluan manusia, namun produksi semacam
itu jelas dipusatkan pada bidang tertentu. Sebaliknya, bila produksi dan
penyalurannya dilaksanakan di daerah yang membutuhkan barang itu,
segala sesuatu akan diatur itu sendiri, sehingga tidak ada peluang untuk
kecurangan, dan sama sekali tertutup kemungkinan berspekulasi. Ketika
disangka sebagai anti mesin, Gandhi menyangkalnya dan mengatkan bahwa ia
menghindarkan pesona mesin yang merusak. Gandhi lebih menyukai
alat-alat sederhana yang menyelamatkan kerja secara individual dan
meringankan berjuta-juta desa serta bersifat padat karya.
4. Manusia Dengan Toleransi Beragama Dan Kesadaran Mengabdi Pada Tuhan
Menurut
Gandhi, agama memang seharusnya meliputi setiap perbuatan manusia.
Dalam filsafat Hindu saja dikatakan bahwa semua agama mengandung unsur
kebenaran di dalamnya dan karenanya mengambil sikap hormat dan takzim
terhadap sesama manusia. Tentu saja manusia harus hormat dan yakin pada
agamanya sendiri dahulu. Dan mempelajari agama lain tidak perlu
menyebabkan kurangnya kepercayaan pada agama sendiri. Seharusnya ini
merupakan perluasan sikap hormat manusia atau toleransi kepada agama
yang lainnya.
Selain itu, Gandhi melukiskan bahwa kehidupannya
merupakan usaha keras untuk melihat Tuhan melalui pelayanan kepada
sesama manusia. Hal ini karena Tuhan berada dalam diri setiap manusia
maka pengabdian agama yang dianutnya diwujudkan sebagai pengabdian pada
sesama manusia. Dalam hal ini cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama
dan cinta pada Tuhan berada pada satu perspektif.
Setiap manusia,
menurut Gandhi, juga benar dalam agamanya bila dilihat dari sudut
pandangnya, tetapi tidak mungkin bahwa setiap manusia keliru. Di sinilah
letak perlu adanya toleransi kehidupan beragama, yang tidak lalu
berarti acuh tak acuh terhadap keyakinan diri sendiri, tetapi anggaplah
ini sebagai sikap lebih cerdas serta mencintai agama dengan lebih murni.
Toleransi memberi manusia wawasan rohani, sesuatu yang berbeda sama
sekali dengan fanatisme. Pengetahuan mendalam tentang agama akan
menghilangkan hambatan antara keyakinan yang satu dengan yang lainnya.
Keyakinan manusia terhadap Tuhannya seharusnya menjadi pusat sentrifugal
dari seluruh aktivitas manusia, yang bermula dari keyakinan pada
ke-esaan Tuhan, toleransi beragama dan menebarkan jaring pada kesatuan
eksistensi manusia.
F. Manusia Antropokosmoteosentris Mengatasi Zaman Modern
Konsep
manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris dimaksudkan Gandhi
sebagai salah satu upaya mencari kebenaran. Asumsinya, kehidupan manusia
adalah proses untuk mencoba dan belajar dari kesalahan dengan mawas
diri dan disiplin yang kuat, manusia bergerak maju selangkah demi
selangkah menuju pada sifat antropokosmoteosentris. Manusia
antropokosmoteosentris diyakini akan mampu mengantisipasi peradaban
manusia yang senantiasa menuntut perubahan nilai-nilai sosial dan
budaya. Terlebih bila dikaitkan dengan melaju kencangnya transformasi
iptek. Manusia pada permulaan kehadirannya di bumi, tingkah lakunya
tidak jauh berbeda dengan hewan yakni saling memangsa dan hingga kini
kita masih bisa melihat kebuasan-kebuasan manusia. Dengan kemajuan
ipteknya, dunia modern telah melahirkan manusia-manusia seperti kelompok
nazi jerman, militer-fasis jepang, komunis cina, eropa timur dan soviet
dan berbagai kekuasaan totaliter dibelahan benua lainnya yang telah
menistai kemanusiaan mereka dengan kekejaman yang tidak berperi
kemanusiaan.
Apabila diamati secara seksama, dewasa ini beberapa
kawasan dibelahan dunia, dalam persoalan yang menyangkut hubungan antar
individu dan masyarakat secara mikro, dan hubungan antar bangsa secara
makro, selalu saja diwarnai dengan kekerasan, meski masing-masing
bertumpu pada satu dalih untuk menjustifikasi tindakan kekerasan
tersebut. Di samping itu, pencegahan persaingan senjata nuklir juga
harus segera dilakukan jika manusia modern tidak ingin melihat dunianya
porak-poranda. Untuk menghindari hal demikian, satu-satunya jalan yakni
masing-masing pihak harus meredam hawa nafsu kekerasannya.
Manusia
antropokosmoteosentris dengan kedewasaan sosial dan mencintai alamnya
menyadari bahwa kepentingan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan
fisik bumi dan atmosfer akan lebih mendorong manusia untuk melakukan
transformasi sosial dan budaya ke arah kemanusiaan yang semakin tinggi.
Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk mengurangi
kadar pemakaian kekuasaan dan kekerasan, dalam segala rupa untuk
menyelesaikan beragam problem manusia di zaman modern ini. Dengan
demikian, akan semakin besar pula kesadaran dan pengendalian diri
kemanusiawian umat manusia.
G. Manusia Antropokosmoteosentris Yang Terkesan Utopis
Pada
dasarnya, Gandhi adalah seorang yang beragama, tetapi rumusan mengenai
agama yang disetujuinya dalam konsep manusia antropokosmoteosentris
tidak lain adalah rumusannya sendiri. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa
kebutuhan rohani setiap manusia bersifat unik dan setiap orang
mempunyai hak untuk mengatur hidupnya sendiri sesusuai dengan pandangan
hidupnya, asalkan ia menjamin hak yang sama kepada orang lain. Oleh
karena itu dalam praktek pencarian konsep manusia ideal yang bersifat
antropokosmoteosentris ini, manusia tidak boleh memaksakan pandangannya
mengenai kebenaran kepada sesamanya, apalagi dengan cara kekerasan.
Dari
anggapan dasar bahwa manusia pada hakikatnya baik, dapat ditarik
kesimpulan jika Gandhi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia
kehadirannya tidak merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia yang
lain. Oleh karena itu, manusia antropokosmoteosentris harus selalu
menekankan aspek hubungan yang harmonis antara sesama manusia dan dengan
alamnya.
Yang paling menarik dari konsep manusia seperti di atas
adalah keluasan, keterpaduan dan kesatuannya. Inilah ajaran dan warisan
bahwa kejahatan dari manusia tidak dapat dibinasakan. Kejahatan dari
manusia adalah kejahatan bersama dan harus dipecahkan bersama-sama pula.
Tetapi manusia terkadang tidak siap untuk tugas bersama karena ia tidak
menyadari dirinya dan tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kalau
sudah begitu, tugas manusia adalah kembali kepada hati nuraninya sendiri
agar kehidupan dunia menjadi damai.
Sayangnya, dalam konsep
manusia ini Gandhi tidak mengidentifikasi lingkungan pribadi manusia
dengan lingkungan suci. Gandhi juga tidak menjauhkan diri dari kegiatan
masyarakat sekular. Ini menjadi kontradiktif karena pada kesempatan lain
Gandhi terkadang memandang bahwa struktru sosial dan budaya manusia
pada dasarnya adalah sekular, dalam arti bahwa
praanggapan-pra-anggapannya yang paling mendasar adalah tidak religius,
akan tetapi ia seringkali menggunakan klise religius sebagai dukungan.
Dalam
konsep manusia ideal menurut Gandhi ini, konsep ahimsa juga paling
sedikit dipahami karena konsep ini mengandung penolakan secara implisit
terhadap gagasan dasar masyarakat industri yang makmur. Konsep
satyagraha yang dianjurkan juga menjadi tidak berarti jika tidak
didasarkan pada kesadaran akan keberadaan pertentangan-pertentangan
intern dalam kelompok manusia yang berlandaskan kekuatan. Padahal,
sesungguhnya satyagraha ini harus memulai dengan menempatkan diri
menghadapi pengaduan-pengaduan ini agar dapat dikaji kesungguhan manusia
tentang kesetiaannya terhadap kebenaran.
Hannah Arrendt pernah
menegaskan bahwa dalam konsep manusia antropokosmoteosentris ini, Gandhi
menggunakan logika yang agak sedikit berbeda. Arendt mengakui bahwa
dosa manusia adalah kejadian sehari-hari yang sesuai dengan sifat yang
sangat alamiah dari pembentukan secara konstan tindakan
hubungan-hubungan baru dalam suatu jaringan hubungan-hubungan. Selain
itu, manusia memang membutuhkan pengampunan, pelepasan, untuk
memungkinkan kelanjutan hidupnya yang dilakukan secara konstan dan untuk
membebaskan manusia dari hal-hal yang mereka perbuat tanpa mereka
sadari. Dari penjelasan ini, kita bisa melihat bahwa ada hubungan yang
tidak seimbang antara konsep manusia ideal yang bersifat
antropokosmoteosentris dan kenyataan riil yang ada pada manusia
dimasyarakat, dan untuk itulah Gandhi hidup dan meninggal dunia.
Perubahan antara kenyataan riil manusia terhadap manusia
antropokosmoteosentris tidak akan merupakan perubahan yang
sungguh-sungguh terjadi.
Akhirnya seperti yang dibilang Gandhi,
bahwa manusia berakhir menjadi seperti apa yang dipikirkannya, maka
demikian juga dengan India, asalkan tetap memegang teguh kebenaran
dengan menggunakan 6 kebajikan tertingginya. Akan tetapi disisi lain
Gandhi sendiri mengakui bahwa secara politis pertempurannya sesungguhnya
sudah kalah. Tanpa berpuas diri, kasihan pada diri sendiri, ia hadapi
kebenaran bahwa hanya tinggal satu saja. Gandhi harus menyerahkan
jiwanya bagi India, nyatanya ia dibunuh oleh seorang saudara-nya yang
justru gagal diyakinkannya.
Dari paparan di atas, apakah konsep
manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris ini akan dapat
direalisasikan ataukah akan sia-sia saja, Gandhi sendiri tidak pernah
putus keyakinannya, hingga meninggalkan kesan pada sesamanya maupun
musuhnya serta membangkitkan padanya suatu tanggapan cinta-kasih serta
kebenaran yang ingin dicapai manusia. Sikap ini tidak dapat dimengerti
dalam konteks pragmatisme sebab yang menjadi pokok masalah adalah
kesetiaan manusia pada kebenaran, bukan dampak nyata pada sesamanya.
Sebagai
penutup, konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris
memang harus dilihat apa adanya dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Bukan sekedar idealisme yang sering dianggap utopis dan
asketis, tetapi harus dipandang sebagai ajaran yang esensial, yang
niscaya diperlukan jika manusia ingin memulihkan kembali hati nuraninya
dalam menghadapi perubahan peradabannya yang sarat dengan problema.
Wallahu a’lamu bi al-shawab!
(Tulisan
ini telah dimuat di: Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2, Juli
2007, Jakarta: Universitas Paramadina, hal. 106-128; Oleh: Suratno)
1. Penulis adalah Dosen Departemen
Falsafah dan Agama dan Peneliti PSIK, Universitas Paramadina, Jakarta.
Ia juga Dosen STAINU dan Wakil-Direktur LP3M, Jakarta.
2. Erich Fromm, 1987, Memiliki dan Menjadi (Terj. Soesilo), Jakarta: LP3ES, hal.10
3. Van derWeij, 1991, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Terj. K. Bertens), Jakarta: PT Gramedia, hal.1
4. H. Titus, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat (Terj. H.M Rasjidi), Jakarta: PT Bulan Bintang, hal.9
5. N. Balabanian, 1980, Benarkah Teknologi Itu Netral?, Jakarta: PT USICA, hal.1
6.
Kaba Gandhi ini dikenal sebagai seorang yang jujur, berani dan murah
hati serta tidak mudah disuap, meskipun cepat naik darah. Sifat-sifat
inilah yang mengesankan Gandhi sehingga ia merasa telah benar-benar
menemukan figure ayah dalam diri Kaba Gandhi, meski beliau baru membaca
Gita, salah satu kitab suci agama Hindu, pada saat-saat terakhir
hidupnya.
7. Kesalehan Putlibai bisa dilihat bahwa ia seringkali
ber-mati raga pada bulan-bulan puasa dan hampir tiap hari mengunjungi
kuil-kuil Vaishnava.
8. Louis Fischer, 1967, Gandhi: Penghidupan dan Pesannya Untuk Dunia (Terj. Oesman Efendi), Jakarta: PT Pembangunan, hal. 15
9. Gandhi, 1985, Gandhi: Sebuah Otobiografi (Terj. Gd Bagoes Oka), Denpasar: Yayasan Bali Canti Siwa, hal.26
10. Ibid, hal.46
11. Lihat Wahana Wegig, 1986, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Kanisius, hal.1
12.
Tempat dimana orang-orang India di Natal bisa tinggal di situ. Di sini
pula Gandhi mulai mengajarkan kehidupan sederhana dengan mengerjakan
pemenuhan kebutuhan hidup sendiri (swadeshi). Gandhi juga mulai
mengajarkan hidup tanpa kekerasan (ahimsa).
13. Lihat Cremers, 1994, Luther dan Gandhi: Telaah Psikohistorik Erik Erikson, Flores: Penerbit Nusa Indah, hal.67-68
14. T.S.G. Mulia, 1959, India: Sedjarah Politik dan pergerakan kebangsaan, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, hal.173
15.Cremers, 1994, op.cit, hal. 70.
16.
Gerakan untouchable yakni larangan untuk menyentuh kaum dari kasta
paria dalam arti berurusan dengan mereka dalam segala hal. Kasta paria
merupakan kasta terendah dalam agama Hindu.
17. Gandhi, 1985, op.cit, hal.378-380.
18. Lihat Gandhi, 1949, Non Violence in Peace and War, Ahmedabad: Navajivan Publishing House, hal.378-380.
19. Louis Fischer, 1967, op.cit, hal.11
20. Lihat Muchtar Lubis, 1988, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.219
21. Lihat Wahana Wegig, 1986, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal.16
22. Ibid, hal.17
23. Lihat Hannah Arrendt, 1958, The Human Condition, USA: Chicago University Press, hal.121
24. Satyagrahi adalah orang yang menjalankan satyagraha
25. Wahana Wegig, 1986, op.cit, hal.53-54
26. Lihat Louis Fischer, 1967, op.cit, hal.41
27. Lihat Mohan Datta, 1953, The Philosophy of Gandhi, USA: Wincosin University Press, hal.49
28. Naturopaty adalah suatu cara pengobatan penyakit dengan menggunakan unsur-unsur alam seperti air, cahaya, tanah dan udara.
29. Lihat Prabbhu, 1945, The Mind of mahatma Gandhi, London: Oxford University Press, hal.85
30. Gandhi, 1988, Semua Manusia bersaudara (terj. Koestiniyati Muhtar), Jakarta: yayasan Obor Indonesia, hal.70
31.
Martin Sardy, 1985, The Philosophy of Gandi: A Study of his basic
ideas, sebuah resensi buku dalam majalah Basis, vol.34 Maret 1985,
hal.113
32. Nirmal Kumar Bose, 1968, Selection From Gandhi, Ahmedabad: Navajivan Publishing House, hal.39
33. Schumacher, 1981, Small is Beautiful, Jerman: Tanpa penerbit, hal.55
34. Tendulkar, 1952, Mahatma: Life of M.K. Gandhi, Bombay: Vitalbha. K. Jhaveri, hal.360
35. Thomas Merton, 1992, Gandhi: tentang Pantang kekerasan, Jakarta: yayasan obor Indonesia, hal.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar