- Gambaran Umum Pulau Sumatera
Pulau Sumatra, berdasarkan luas merupakan pulau terbesar keenam di dunia. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, seolah
membagi pulau Sumatra atas dua bagian, Sumatra belahan bumi utara dan Sumatra
belahan bumi selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut,
merupakan barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari
ujung utara ke arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau
relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang
landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan.
Di bagian utara pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman dan di bagian selatan dengan Selat Sunda. Pulau Sumatra ditutupi oleh hutan tropik
primer dan hutan tropik
sekunder yang lebat dengan tanah yang
subur. Gungng berapi yang tertinggi di Sumatra adalah Gunung
Kerinci di Jambi, dan dengan gunung
berapi lainnya yang cukup terkenal yaitu Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam dan Gunung Dempo di perbatasan Sumatra Selatan dengan Bengkulu. Pulau Sumatra merupakan
kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak
bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut Patahan
Sumatra; dan patahan kerak bumi di
dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau
terbesar di Indonesia, Danau Toba terdapat di pulau Sumatra.
- Sejarah Terbentuknya Struktur Geologi Pulau Sumatera
Struktur geologi adalah segala
unsure dari bentuk arsitektur kulit bumi / gambaran geometri (bentuk dan
hubungan) yang diakibatkan oleh gejala - gejala gaya endogen. Secara umum
terdapat unsur - unsur dari struktur geologi yaitu, Bidang perlapisan, Lipatan,
Patahan dan kekar atau joint.
Pada awal berkembangnya geologi, Pemikiran geologi
dimulai oleh Leonardo da Vinci (1452-1519). Pada awalnya perkembangan geologi
didominasi pemikiran klasik (fixist), yang menganggap pembentukan orogenesa dan
geosinklin terjadi di tempat yang tetap. Mewakili pemikiran ini misalnya Erich
Haarmann (1930), yang menyatakan bahwa orogenesa terjadi karena kulit bumi
terangkat seperti tumor, dan melengser karena gaya berat. Selanjutnya pendapat
ini diterapkan oleh van Bemmelen (1933) di Indonesia sebagai Teori Undasi.
Pemikiran lain, mobilist dikemukakan Antonio
Snider-Pellgrini (1658) yang mencermati kesamaan bentuk pantai barat dan timur
Atlantik, serta Alfred Lothar Wegener (1915) yang mengemukakan konsep “benua
mengembara”. Perubahan mendasar geologi global terjadi setelah Perang Dunia II,
ketika data geofisika lantai samudera menunjukkan bahwa jalur anomali magnet
mempunyai rasio yang tetap di mana-mana. Pada 250 juta tahun yang lalu benua
merupakan satu kesatuan benua induk, atau Pangea. Perputaran bumi mendorong
benua untuk bergerak ke arah kutub, sehingga benua terpecah-pecah sebagai
kepingan benua kecil-kecil seperti saat ini: 6 lempeng utama dengan 14 lempeng
yang lebih kecil. Dengan demikian maka seluruh permukaan bumi berada di dalam
satu kesatuan proses geologis yang universal: Tektonik Global.
Peta pembagian lempeng – lempeng di Dunia
Indonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai
tatanan geologi yang unik dan rumit. Banyak ahli geologi yang berusaha
menjelaskan fenomena tersebut, baik dengan menggunakan pendekatan teori
tektonik klasik maupun tektonik global.
Mewakili contoh pemikiran tektonik klasik, Van
Bemmelen (1933) menggunakan Teori Undasi dalam menjelaskan keberadaan
jalur-jalur magmatik yang menyebar secara ritmik menerus dari Sumatera ke Kalimantan
barat dan Kalimantan. Berikutnya, Westerveld (1952) merekontruksikan jalur
orogen di Indonesia dengan menggunakan pendekatan konsep geosinklin. Hasilnya
adalah terpetakan lima jalur orogen dan satu komplek orogen yang ada di
Indonesia.
Menurut pemikiran tektonik global, konfigurasi saat
ini merupakan representasi dari hasil kerja pertemuan konvergen tiga lempeng
sejak jaman Neogen, yaitu: lempeng samudera Indo-Australia, lempeng samudera
Pasifik, dan lempeng benua Asia Tenggara. Tatanan tektonik Indonesia bagian
barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur.
Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan daratan
Sunda yang relatif stabil. Sementara keberadaan lempeng benua mikro yang
dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sangat mempengaruhi bentuk
kerumitan tektonik Indonesia bagian timur. Berdasarkan konsep ini pula di
Indonesia terbentuk tujuh jalur orogen, yaitu jalur-jalur orogen: Sunda,
Barisan, Talaud, Sulawesi, Banda, Melanisia dan Dayak.
Sekilas mengenai gambaran sejarah terbentuknya geologi
Indonesia, pada paragraph selanjutnya akan dibahas selangkah lebih mengerucut
tentang mengenai dampak yang terjadi dari adanya penunjaman sunda oleh lempeng
australia baik bagi kondisi busur sunda maupun sesar pulau sumatera.
Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat
Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke
Andaman-Nicobar dan Burma. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu
relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di
sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Penunjaman mempunyai
kemiringan sekitar 7o. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung
dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Cekungan muka busur berada
di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman dengan lebar
150 - 200 km. Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada
pada kedalaman 100 – 130 km. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi
kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum Tengah –
Akhir. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di
Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan di Bali dan Lombok.
Gambar penunjaman antar lempeng
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan
palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi.
Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah,
Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan
Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara
lempeng Burma. Penyimpulan ini menyisakan pertanyaan karena kenampakan anomali
gaya berat menunjukkan bahwa pola Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai
dengan pola Sumatera dibanding dengan Jawa bagian Timur.
Pengaruh Tektonik Regional pada Perkembangan Sesar
Sumatera, Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat
dengan pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar
45,6 Juta tahun lalu yang mengakibatkan perubahan sistematis dari perubahan
arah dan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang
terjadi padanya. Proses tumbukan ini mengakibatkan terbentuknya banyak sistem
sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan
massa secara tektonik. Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk
melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng
Indo-Australia, besarnya slip-vectorini secara geometri akan mengalami kenaikan
ke arah barat laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua
lempeng tersebut.
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan
penunjaman, punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi
akibat proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi
(trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik
Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola. Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk,
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
Kompleksitas tatanan geologi Sumatera, perubahan
lingkungan tektonik dan perkembangannya dalam ruang dan waktu memungkinkan
sebagai penyebab keanekaragaman arah pola vektor hubungannya dengan
slip-ratedan segmentasi Sesar Sumatera. Hal tersebut antara lain karena (1) perbedaan
lingkungan tektonik akan menjadikan batuan memberikan tanggapan yang
beranekaragam pada reaktivasi struktur, serta (2) struktur geologi yang lebih
tua yang telah terbentuk akan mempengaruhi kemampuan deformasi batuan yang
lebih muda.
- Kondisi Geologi Pualu Sumatera
Secara garis besar, Pulau Sumatera terbagi menjadi
beberapa geologi regional sumatera yang dalam makalah ini akan dicoba untuk
dibahas satu persatu setiap geologi regional itu.
Dalam pembahasan kali ini, akan dijelaskan mengenai
Geologi Regional Sumbar, Geologi Regional Sumteng dan Sumatera Selatan.
- Kondisi Geologi Sumbar
Peta indeks provinsi Sumatera Barat
Data geologi
daerah Provinsi Sumatera Barat merupakan hasil kompilasi/perpaduan dari
beberapa peta geologi sekala 1 : 250.000 yang \ diterbitkan oleh Pusat Survey
Geologi (Badan Geologi), peta geologi tersebut antara lain adalah lembar Pulau
Telu – Muara Sikabaluan (0615 - 0614); lembar Lubuk Sikaping (0716); lembar
Painan - Muara Siberut (0814 - 0714); lembar Sikakap - Burisi (0713 – 0712);
lembar Sungai Penuh (0813); lembar Padang (0715) dan lembar Solok (0815).
Penyederhanaan
geologi didasarkan pada pengelompokan umur dan jenis batuan, sehingga geologi
Prov. Sumatera Barat dari kelompok umur paling tua ke muda dapat diuraikan sbb.
: (Gambar 1)
Gambar 1. Peta Geologi
Regional Sumatera Barat.
Struktur
yang berkembang di Provinsi Sumatera Barat adalah struktur perlipatan
(antiklinorium) dan struktur sesar dengan arah umum baratlaut – tenggara, yang
mengikuti struktur regional P. Sumatera. Kondisi stratigrafi dari struktur
geologi sumatera barat adalah sebagai berikut.
- Kelompok Pra Tersier : kelompok ini mencakup masa Paleozoikum – Mesozoikum, dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok batuan melange, kelompok batuan malihan; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan terobosan.
- Kelompok batuan ultrabasa Pra Tersier disusun oleh batuan harzburgit, dunit, serpentinit, gabro dan basalt.
- Kelompok Melange Pra Tersier merupakan kelompok batuan campur aduk yang disusun oleh batuhijau, graywake, tufa dan batugamping termetakan, rijang aneka warna. Kelompok batuan malihan Pra Tersier disusun oleh batuan sekis, filit, kwarsit, batusabak, batugamping termetakan.
- Kelompok batuan sedimen Pra Tersier yang didominasi oleh batugamping hablur sedangkan kelompok batuan terobosan Pra Tersier disusun oleh granit, diorit, granodiorit, porfiri kuarsa, diabas dan basalt.
- Kelompok transisi Pra Tersier – Tersier Bawah yang merupakan kelompok batuan terobosan yang terdiri dari batuan granodiorit dan granit.
- Kelompok Tersier dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok batuan melange; kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan terobosan. Kelompok batuan ultrabasa Tersier disusun oleh batuan serpentinit, piroksenit dan dunit.
- Kelompok batuan melang Tersier yang merupakan batuan campur aduk disusun oleh graywake, serpih, konglomerat, batupasir kwarsa, arkose, serpentinit, gabro, lava basalt dan batusabak.
- Kelompok batuan sedimen Tersier disusun oleh konglomerat, aglomerat, batulanau, batupasir, batugamping, breksi dan napal.
- Kelompok batuan gunungapi Tersier disusun oleh batuan gunungapi bersifat andesitik-basaltik, lava basalt sedangkan kelompok batuan terobosan Tersier terdiri dari granit, granodiorit, diorit, andesit porfiritik dan diabas.
- Kelompok transisi Tersier – Kwarter (Plio-Plistosen) dapat dipisahkan menjadi kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan terobosan.
- Kelompok batuan sedimen Plio-Plistosen disusun oleh konglomerat polimik, batupasir, batulanau dan perselingan antara napal dan batupasir.
- Kelompok batuan gunungapi Plio-Plistosen disusun oleh batuan gunungapi andesitik-basaltik, tufa, breksi dan endapan lahar sedangkan kelompok batuan terobosan Plio-Plistosen terdiri dari riolit afanitik, retas basalt dan andesit porfir.
- Kelompok Kwarter dipisahkan menjadi kelompok batuan sedimen; batuan gunungapi dan aluvium.
- Kondisi Geologi Sumteng (Cekungan Sumatera Tengah)
Tektonik Regional, Cekungan
Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar
di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah
merupakan cekungan belakang busur.
Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat
laut-Tenggara, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng
Hindia-Australia dibawah lempeng Asia (gambar 1). Batas cekungan sebelah Barat
daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan
ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini
yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan Cekungan Sumatra tengah
dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas cekungan sebelah barat laut yaitu
Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra
utara (gambar 2).
Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan
kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini
Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan
peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi
panas ke atas dan diapir-diapir magma dengan produk magma yang dihasilkan
terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan hipabisal. Selain itu, terjadi
juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secara
keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di
daerah cekungan Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di
cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman
kapur. Subduksi lempeng yang miring dari arah Barat daya pulau Sumatra
mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di Cekungan
Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curam
yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower
structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan
struktur (gambar 3). Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah
jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted)
(Shaw et al., 1999).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah
memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola
struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan
Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupun demikian,
struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat
laut–Tenggara.
Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan
Sumatra tengah dipengaruhi adanya morfologi High – Low pre-Tersier. Pada
gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur dan morfologi High – Low
terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan Bengkalis
Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half
graben. Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada
daerah ini dan dapat ditelusuri di sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi
ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonik paling muda
(tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih
dapat diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari
cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum
dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :
- Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.
- Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
- Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.
- Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
- Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
- Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.
Stratigrafi Regional , Proses
sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal tersier (Paleogen),
mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah berlangsung
sejak zaman Kapur hingga awal tersier.
Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh
batuan-batuan metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan
dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan
metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam
Wibowo, 1995).
Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
- Rift (Siklis Pematang),Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase tektonik ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang tersusun oleh batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi seismik dan amplitudo yang kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi dengan lingkungan lakustrin.
Pengendapan
pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin
dari Lower Red Bed Formation dan Brown Shale Formation. Ke arah
atas menuju fase late rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi
lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill
sediments.
- Formasi Lower Red Bed
Tersusun oleh batulempung berwarna merah – hijau,
batulanau, batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang
tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan
diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy
matrix di dalam konglomerat dan breksi
- Formasi Brown Shale
Formasi ini cukup banyak mengandung material organik,
dicirikan oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan
sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir, konglomerat
dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m di bagian depocenter.
Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan
danau dalam dengan kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti
bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir–konglomerat diendapkan oleh proses fluvial
channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat beberapa
horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas
danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman
inti batuan di komplek Bukit Susah.
Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi
penurunan cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.
- Formasi Coal Zone
Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat
equivalen dengan Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan
serpih dengan batubara dan sedikit batupasir.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini
diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak
dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di
daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter (gambar 6).
- Formasi Lake Fill
Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih.
Komposisi batuan terutama berupa klastika batuan filit yang dominan, secara
vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur
sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan
lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.
Formasi ini diendapkan secara progradasi pada
lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan
formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai
melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m.
- Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai
seri dari endapan aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit
batulempung berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral,
formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red Bed, Brown Shale,
Coal Zone dan Lake Fill.
Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman,
dua formasi terakhir (Lake Fill dan Fanglomerat) dianggap satu
kesatuan yang equivalen dengan Formasi Pematang berdasarkan sifat dan
penyebarannya pada penampang seismik.
- Sag
Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang
diendapkan sedimen Neogen. Fase sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi
yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan mencapai puncaknya pada Formasi Telisa.
Siklis Sihapas (transgresi
awal)
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode
transgresi terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan
Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic
sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini berlangsung pada Miosen awal –
Miosen tengah.
- Formasi Menggala
Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran
butir kasar berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral,
batupasir ini bergradasi menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama
batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur sedimen trough
cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi
penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided
stream.
Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari
kelompok Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen
pada matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m,
diperkirakan berumur awal Miosen bawah.
- Formasi Bangko
Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan
perselingan batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut
terbuka. Dari fosil foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963).
Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m.
- Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran
sedang-kasar dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping.
Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan
air payau dan laut terbuka. Fosil pada serpih menunjukkan umur N6 – N7.
Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m.
- Formasi Duri
Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini
equivalen dengan formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan
serpih. Ketebalan maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 – N8.
(Formasi Telisa (transgresi
akhir)
Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada
puncak transgresi tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir
halus pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa batugamping
pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah menjadi serpih
mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam. Diinterpretasikan lingkungan
pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik – Bathyal atas.
Secara regional, serpih marine dari formasi ini
memiliki umur yang sama dengan Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa
dengan dibawahnya adalah transisi fasies litologi yang berbeda dalam posisi
stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai 550 m, dari analisis
fosil didapatkan umur N6 – N11.
(Formasi Petani (regresi)
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil,
sedikit karbonatan dengan beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara
vertikal, kandungan tuf dalam batuan semakin meningkat.
Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik
kompresi dan volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan),
sehingga dihasilkan material volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global
(eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan penurunan muka air laut
sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di beberapa tempat.
Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara
selaras diatas Formasi Telisa. Walaupun demikian, ke arah timur laut secara
lokal formasi ini memiliki kontak tidak selaras dengan formasi di bawahnya.
Ketebalan maksimum formasi ini mencapai 1500 m, diendapkan pada Miosen tengah–
Pliosen.
- Inversi
Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor
berupa puncak dari pengangkatan Bukit Barisan yang menghasilkan
ketidakselarasan regional pada Plio-Pleistosen. Aktivitas tektonik ini
mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada
fase tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan
darat dan aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan aluvium
berumur Pleistosen – Resen.
- Kondisi Geologi Sumsel ( Cekungan Sumatera Selatan)
Wilayah Nusantara dikenal mempunyai 62 cekungan yang
diisi oleh batuan sedimen berumur Tersier. Sekitar 40 % dari seluruh cekungan
berada di daratan (onshore). Ke 62 cekungan tersebut tersebar di Pulau
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Cekungan
berumur Pratersier kebanyakan ditemukan di wilayah Indonesia Bagian Timur, dan
kebanyakan sulit ditarik batasnya dengan cekungan berumur Tersier, karena
umumnya ditindih (overlain) oleh cekungan berumur Tersier.
Hampir semua cekungan batuan sedimen di Indonesia
sangat berpotensi mengandung sumber daya migas, batubara dan serpih minyak (oil
shale). Namun, batasan stratigrafi, sedimentologi, tektonik & struktur
maupun dinamika cekungan semua formasi pembawa potensi sumber daya belum
terakomodasi dan tergambar dalam bentuk atlas.
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil
kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia,
yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang
relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau
Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang
berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone
konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia
tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di
Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan
jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil
penurunan (depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan
Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai
terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan Barisan
sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang
masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan
Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian
"Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan
Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang
pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier
Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen
menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik
dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi
tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah
baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan
serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami peremajaa.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan
cekungan Tersier berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko
dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut,
Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan
Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah
barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera
Tengah.
Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake,
1989)
Tektonik
Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan
Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang
terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian
dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya
dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut
Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier
(Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi
sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua
Asia.
Menurut De
Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode
orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan
yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan
Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode
pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan
terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta
telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam
Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut –
tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode
kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional
yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan –
batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang
mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode
ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur
perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada
periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang
menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit
Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai
sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga
sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir
sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang
terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut –
tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat
laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik,
sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan
struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara
sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang
terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat
laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar
dengan Pulau Sumatera .
Stratigrafi
Regional, Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra
Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng
Hindia. Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh
di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah
timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.
Tatanan
stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar
sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada
akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu
dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh
Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut
Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan
kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang
mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal
dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan
back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja)
pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan
dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi
Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.
Fase regresi
dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh
pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada
lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di
atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana
lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan
non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung
dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini
berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan,
pumice dan konglemerat.
- Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.
- Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi lahat.
- TOC 1.7 – 8.5 wt% à Excellent potential
- HI 130-290 mg
- Derajat kematangan 0.64 – 1.4 %Ro.
- Kerogen Tipe I dan II, III
- Mature T-max 436-441 0C
Formasi ini memiliki 3 anggota,
yaitu :
- Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.
- Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa.
- Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar.
Formasi Lahat
berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
- Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.
- TOC 1.5 – 8 wt%à Good - Excellent
- HI 150-310 mg
- Derajat kematangan 0.54 – 1.3 %Ro.
- Kerogen Tipe I dan II,III
- Gradien geothermal 490 C/km
- Mature T-max 436-4500C
- Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi Batu Raja.
- TOC 0.5 – 1.5 wt% à Fair - Good
- Kerogen Tipe I, II, III
- Mature T-max 436-4500C
- Kerogen Tipe I, II, III
- Mature T-max 436-4500C
- Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi Gumai.
- TOC 0.5-11.5 wt% àfair - excellent
- Kerogen Tipe III
- Early mature T-max 400-4300C
- Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari Air Benakat.
- TOC 0.5 – 1.7 wt% Fair – Good
- Imature T-max < 4300C
- 0.29-0.30 %Ro
- Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari Air Benakat.
- TOC 0.5-52.7 wt% àFair - Excellent
- Imature T-max < 4300C
- 0.29-0.30 %Ro
- Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
- Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.