Gunung Bromo adalah termasuk kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru yaitu dalam wilayah empat kabupaten antara lain;
Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Kawasan ini adalah andalan obyek wisata Jawa Timur
yang sudah sangat terkenal sampai mancanegara, untuk mencapai kawah Bromo ada
dua jalur yang lebih mudah daripada jalur yang lain, yaitu melalui Cemoro
Kandang-Pasuruan, terus ke Tosari-Wertokitri, lanjut bisa ke Penanjakan atau
langsung ke lautan pasir dan menuju puncak Bromo. Jalur yang kedua adalah dari
arah probolinggo lewat Sakopuro terus ke Ngadisari kemudian naik ke Cemoro
Lawang dan langsung ke kawah Bromo.
Kawasan Gunung Bromo dengan suhu 5-14 derajat celcius,
dengan ketinggian kurang lebih1500 mdpl adalah salah satu gugusan gunung-gunung
seperti Gunung Batok, Gunung Kursi, dan Gunung Penanjakan.
Bila kita mengenal Gunung Bromo tidak lepas dari
budaya, agama, dan adat istiadat dari masyarakat Tengger (Wong Tengger), yaitu
penduduk disekitar kawasan Gunung Bromo, yang menurut legenda Jawa ketika
runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1520-an para pendeta dan para bangsawan
sebagian berlari ke Timur mengungsi ke Bali dan sebagian lain tinggal
dipegunungan Tengger ini bercampur dengan penduduk asli daerah tersebut, yang
akhirnya menjadi leluhur orang Tengger masa kini.
Dan masih mempertahankan tradisi serta agama Hindu
Shiwa masa Majapahit. Bertahan bukan karena pengayoman kerajaan atau perwujudan
dalam seni serta tanpa pengelompokan kasta, tapi karena menyatu dalam kehidupan
dan jati diri penduduk yang bergotong – royong serta menyesuaikan dengan
tradisi sekitarnya.
Terbukti adanya beberapa kegiatan upacara yang terasa
khas dan khusus seperti antara lain, Kasadha
, adalah perayaan terbesar budaya Tengger yaitu masyarakat dan para pendatang
beruduyun-duyun ke lereng sampai ke bibir kawah Bromo untuk mempersembahkan
korban dan sesaji berupa makanan, hasil bumi (dengan ongkek) ataupun hewan
ternak.
Agar dengan adanya korban itu selalu mendapat
ketentraman, kedamaian, dan jauh dari mara bahaya, kemudian ada tradisi
Entas-entas adalah upacara tiga hari dari penyucian (Palukaten) dan membantu
roh orang mati menemukan jalan ke Nirwana.
Roh yang dilambangkan dengan patung kecil (Petra) yang
terbuat dari dedaunan dan bunga, puncak upacaranya ditandai dengan didudukannya
anggota keluarga dekat yang ditutupi kain putih memegang Petra tersebut, yang
akhirnya pembakaran potongan rambut anggota keluarganya dan Petra-petra di
teruskan dengan melintaskan seekor unggas yang akhirnya dilepas.
Adalagi perayaan Karo (Kedua) yang dipahami juga
perayaan suci yang saling berpasangan merupakan sumber kehidupan seperti Bumi –
Langit, tanah-air, laki-perempuan, siang-malam, dan sebagainya.
Nuansa pelaksanaanya mengarah berdasarkan dongeng dan
Kejawen, karena dalam kebersamaan orang Tengger adalah dipimpin oleh seorang
Dukun, yaitu seorang Tetua Adat (Ahli Adat) yang harus mewakili dan memimpin
pada setiap upacara dan perayaan maka haruslah seorang tokoh masyarakat yang
mempunyai ilmu dan wawasan lebih, apalagi harus bisa membaca naskah-naskah
lontar sebagai bacaan dan do’a warisan leluhur.
Upacara besar juga terjadi apabila ada pengkuhan dukun
dalam penggantian Dukun karena Mangkat.
Demikian sedikit mengenai Wong Tengger, kalau ingin
lebih jelas datang saja kesana, sambil melihat pemandangan yang indah, begitu ?
Sumber : Buku Indonesia Heritage seri 9