Juli 14, 2012

GUNUNG BROMO DAN WONG TENGGER



Gunung Bromo adalah termasuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yaitu dalam wilayah empat kabupaten antara lain; Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Kawasan ini adalah andalan obyek wisata Jawa Timur yang sudah sangat terkenal sampai mancanegara, untuk mencapai kawah Bromo ada dua jalur yang lebih mudah daripada jalur yang lain, yaitu melalui Cemoro Kandang-Pasuruan, terus ke Tosari-Wertokitri, lanjut bisa ke Penanjakan atau langsung ke lautan pasir dan menuju puncak Bromo. Jalur yang kedua adalah dari arah probolinggo lewat Sakopuro terus ke Ngadisari kemudian naik ke Cemoro Lawang dan langsung ke kawah Bromo.
Kawasan Gunung Bromo dengan suhu 5-14 derajat celcius, dengan ketinggian kurang lebih1500 mdpl adalah salah satu gugusan gunung-gunung seperti Gunung Batok, Gunung Kursi, dan Gunung Penanjakan.
Bila kita mengenal Gunung Bromo tidak lepas dari budaya, agama, dan adat istiadat dari masyarakat Tengger (Wong Tengger), yaitu penduduk disekitar kawasan Gunung Bromo, yang menurut legenda Jawa ketika runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1520-an para pendeta dan para bangsawan sebagian berlari ke Timur mengungsi ke Bali dan sebagian lain tinggal dipegunungan Tengger ini bercampur dengan penduduk asli daerah tersebut, yang akhirnya menjadi leluhur orang Tengger masa kini.
Dan masih mempertahankan tradisi serta agama Hindu Shiwa masa Majapahit. Bertahan bukan karena pengayoman kerajaan atau perwujudan dalam seni serta tanpa pengelompokan kasta, tapi karena menyatu dalam kehidupan dan jati diri penduduk yang bergotong – royong serta menyesuaikan dengan tradisi sekitarnya.
Terbukti adanya beberapa kegiatan upacara yang terasa khas dan khusus seperti antara lain, Kasadha , adalah perayaan terbesar budaya Tengger yaitu masyarakat dan para pendatang beruduyun-duyun ke lereng sampai ke bibir kawah Bromo untuk mempersembahkan korban dan sesaji berupa makanan, hasil bumi (dengan ongkek) ataupun hewan ternak.
Agar dengan adanya korban itu selalu mendapat ketentraman, kedamaian, dan jauh dari mara bahaya, kemudian ada tradisi Entas-entas adalah upacara tiga hari dari penyucian (Palukaten) dan membantu roh orang mati menemukan jalan ke Nirwana.
Roh yang dilambangkan dengan patung kecil (Petra) yang terbuat dari dedaunan dan bunga, puncak upacaranya ditandai dengan didudukannya anggota keluarga dekat yang ditutupi kain putih memegang Petra tersebut, yang akhirnya pembakaran potongan rambut anggota keluarganya dan Petra-petra di teruskan dengan melintaskan seekor unggas yang akhirnya dilepas.
Adalagi perayaan Karo (Kedua) yang dipahami juga perayaan suci yang saling berpasangan merupakan sumber kehidupan seperti Bumi – Langit, tanah-air, laki-perempuan, siang-malam, dan sebagainya.
Nuansa pelaksanaanya mengarah berdasarkan dongeng dan Kejawen, karena dalam kebersamaan orang Tengger adalah dipimpin oleh seorang Dukun, yaitu seorang Tetua Adat (Ahli Adat) yang harus mewakili dan memimpin pada setiap upacara dan perayaan maka haruslah seorang tokoh masyarakat yang mempunyai ilmu dan wawasan lebih, apalagi harus bisa membaca naskah-naskah lontar sebagai bacaan dan do’a warisan leluhur.
Upacara besar juga terjadi apabila ada pengkuhan dukun dalam penggantian Dukun karena Mangkat.
Demikian sedikit mengenai Wong Tengger, kalau ingin lebih jelas datang saja kesana, sambil melihat pemandangan yang indah, begitu ?

Sumber : Buku Indonesia Heritage seri 9