April 22, 2012

MANUSIA BIJAK DARI TIMUR


Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya Tentang Manusia Ideal

Intisari
This article aims at exploring Gandhi’s thought on the concept of perfect man and interpreting its historical dynamic in order to seek the relevance of such concept to overcome contemporary human problems. The concept of perfect many, for Gandhi, is characteristically antropocosmotheocentric, meaning that man who have good self awareness and self control, social maturity and care of their nature, and believe in God through religion as well as service for the others. Also they have a principle to live in peace and without any kinds of violence. By realizing these, man is expected to be able to anticipate the unended change of their civilization of life. The basic weakness of this concept is the imbalance relationship between such concept of perfect man and the man in real life. It means such perfect man is a kind of utopia to realize.

A. Manusia Modern Yang Mengalami Krisis
Secara umum diyakini bahwa manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Dalam posisi seperti ini, manusia akan selalu berada dalam jaringan struktur dan institusi yang diciptakannya untuk menunjang kehidupannya. Inilah yang kemudian melahirkan peradaban manusia.
Sekarang, manusia telah berada pada fase yang disebut peradaban modern. Fase ini ditandai dengan kemajuan rasionalitas manusia secara pesat. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi dimensi yang meliputi dan menjangkau seluruh kehidupan manusia. Manusia dapat memperpanjang tangannya, memperkuat ototnya, menyambung indera dan otaknya, dengan bantuan iptek. Bahkan, dengan iptek manusia mampu mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan terhadap adanya kehidupan lain bagi manusia di luar kehidupan planet bumi. Pendek kata, seperti dinyatakan Erich Fromm, manusia telah mencapai era sejarah baru, dimana perubahan yang cepat merupakan suatu konsekuensi yang dominan. Manusia berhadapan dengan perubahan yang fundamental karena ia terlibat dalam proses evolusioner, sehingga merupakan kewajiban bagi manusia juga untuk mengarahkan proses ini ke arah pemahaman diri dan bukan penghancurannya.
Memang benar, usaha pemahaman diri manusia sangat diperlukan dan bersifat ad-infinitum (terus-menerus, tiada henti). Hal ini karena kemajuan yang dicapai manusia dalam peradaban modern ternyata membawa keresahan dan kegelisahan. Van derWeij menyatakan bahwa zaman modern ini, selain ditandai oleh pesatnya kemajuan dibidang iptek, juga ditandai adanya keterancaman, keterasingan, kejenuhan dan tanpa arti, perang yang disertai badai kekerasan, kebencian dan ketidakmanusiawian serta terorisme. Namun, yang lebih luas dari semua itu adalah bukannya kekerasan fisik, melainkan pembusukkan kepribadian dan hati nurani manusia. Hal ini karena manusia telah memperoleh kemajuan pesat dibidang iptek, tetapi sering menggunakannya untuk maksud-maksud yang destruktif. Manusia memang telah memperluas jangkauan dan kuantitas pengetahuannya, tetapi belum dapat mendekati ideal individualitas dan realitas diri (self realization). Manusia telah menemukan cara-cara untuk memperoleh keamanan, kenyamanan dan kenikmatan hidup, tetapi pada saat yang sama mereka merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak nikmat serta merasa risau dan gelisah karena mereka tidak yakin akan arti esensial kehidupan dan tidak tahu arah eksistensial yang mereka pilih dalam kehidupannya.
Balabanian mencatat beberapa krisis manusia dan kemanusiaan yang terjadi di era modern ini yakni: (1)Krisis spiritual, dengan semakinnya memudarnya peranan agama dalam kehidupan manusia, (2)Kritis lingkungan, dengan adanya polusi dan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam, (3) Krisis emosional psikologis, dengan digantikannya nilai-nilai kemanusiaan menjadi nilai-nilai mesin (mekanik). Semua krisis tersebut sebenarnya disebabkan oleh manusia sendiri. Manusia menjadi dibelenggu oleh alat-alat teknik yang dibuatnya dan hidup secara mekanis mengikuti buatannya itu. Akibatnya, seperti dinyatakan oleh Jacques Ellul, muncul situasi sebagai bentuk ketegangan yang di alami oleh manusia modern akibat penyerapan-penyerepan mekanisme secara berlebihan. Rasionalitas melalui iptek akhirnya menjadi faktor mutlak yang menentukan perkembangan kehidupan manusia. Semua krisis yang sebabkan oleh manusia sendiri tadi, selain mengancam kehidupan manusia sekarang, juga mengancam kelangsungan hidup manusia yang akan datang.
Untuk menyelesaikan problem manusia modern seperti di atas, salah satu tokoh abad XX yakni Mahatma Gandhi (1869-1948) dari India telah menawarkan konsepnya tentang manusia ideal. Mengenai apa dan bagaimana konsep manusia ideal menurut Gandhi, hal-hal itulah yang akan dieksplorasi secara lebih jauh dan lebih mendalam dalam tulisan dibawah ini.

B. Riwayat Gandhi, Riwayat Sang Mahatma
Mahatma Gandhi sebenarnya memiliki nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Ia lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, daerah Kathiawad, Gujarat, dari kasta Mohd. Bania yang merupakan sub-kasta Vaisya dalam agama Hindu. Ayah Gandhi bernama Karamchand Gandhi, atau yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi adalah seorang diwan (menteri utama) di Porbandar yang bertugas menarik pajak rakyat. Ibu Gandhi bernama Putlibai, seorang wanita yang mengesankan Gandhi karena kesalehannya dan ia dalam pandangan Gandhi merupakan istri dan ibu yang setia bagi suami dan anak-anaknya.
Dari orang tua seperti diataslah Gandhi dilahirkan dan kemudian dibesarkan serta memperoleh pendidikan. Semasa pendidikan dasarnya, Gandhi kecil termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar terutama dalam berhitung dan perkalian. Meski demikian, ia merupakan anak yang tekun. Ia juga sering mendengarkan diskusi-diskusi ayahnya dengan para pemuka agama lain seperti Jainisme, Islam dan Kristen yang datang kerumahnya untuk berdiskusi tentang agama-agama. Sementara, semasa pendidikan menengahnya, Gandhi remaja masih malu-malu sampai ia mengakui bahwa ia tidak punya banyak teman kecuali buku-buku pelajarannya.
Pada masa ini, ketika berusia 13 tahun, dengan tanpa persetujuannya Gandhi dinikahkan dengan gadis sebayanya yang bernama Kasturbai. Sebagai pasangan muda, kehidupan pernikahan Gandhi dengan Kasturbai tidaklah begitu stabil, terutama yang menyangkut seks. Suatu peristiwa yang selanjutnya mengubah cara hidup Gandhi adalah peristiwa yang terjadi menjelang ayahnya meninggal dunia. Waktu itu Gandhi sedang menunggui ayahnya yang terbaring lemah karena sakit, tetapi kemudian muncul keinginannya untuk berdekatan (berhubungan seks) dengan istrinya. Gandhi lalu meminta pamannya untuk menggantikannya menunggui sang ayah. Namun, ketika Gandhi sedang dikamar istrinya, ia diberitahu pelayannya bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Seketika itu ia menyesali kecerobohannya (yang kurang bisa mengontrol hasrat seksualnya) dan dikemudian hari membuatnya mengucapkan kaul pengekangan diri (Tapas).
Gandhi menyelesaikan pendidikan menengahnya tahun1887 dan lulus ujian matrikulasi di Universitas Bombay serta berhasil masuk di Samaldas College di Bhavnagar. Karena merasa kurang puas, Gandhi mencari informasi agar bisa belajar di Inggris sesuai cita-citanya waktu kecil. Akan tetapi, muncul larangan keras terutama dari ibunya yang khawatir dengan kehidupan dan budaya masyarakat Inggris, sehingga kemudian Gandhi bersumpah tidak akan menyentuh wanita, tidak minum anggur dan tidak makan daging jika diterima belajar di Inggris. Pada tahun 1888, Gandhi akhirnya tiba di Inggris untuk belajar ilmu hukum, meski perhatiannya tidak hanya pada ilmu hukum saja. Di Inggris, Gandhi juga sudah mulai terbiasa membaca Alkitab terutama Perjanjian Baru dan juga membaca Bhagavadgita terjemahan Sir. Edwin Arnold.
Setelah 3 tahun di Inggris, Gandhi lulus ujian ilmu hukum dan diakui sebagai pengacara berijasah. Gandhi kembali ke India pada bulan Juni 1891 dan bekerja sebagai pengacara sambil nyambi bekerja paruh waktu sebagai guru di Bombay High School. Akan tetapi, Gandhi selanjutnya memilih meninggalkan pekerjaanya di India karena mendapat tawaran dari sebuah perusahaan India di Natal, Afrika Selatan untuk membela orang-orang India di sana yang mengalami penderitaan akibat adanya rasialisme dan gaji kerja yang tidak memadai. Gandhi akhirnya pergi ke Afrika Selatan dan dalam usaha mengembalikan hak-hak asasi orang India di Natal ini ia mendirikan Ashram di Phoenix .
Keberadaan dan aktivitas Gandhi dan yang lain di Ashram dianggap membahayakan oleh pemerintah setempat sehingga pada 1907 Gandhi ditahan serta diadili dengan tuduhan sebagai agitator (pemimpin gerombolan). Penahanan itu memang tidak berlangsung lama karena Gandhi tidak terbukti bersalah dan kemudian ia dibebaskan. Melajutkan aktivitasnya, pada 1912 Gandhi memobilisasi aksi protes massal kaum buruh secara besar-besaran, karena janji pemerintah untuk menghapus pajak 3 pounds setahun atas pekerjaan yang diadakan di luar kontrol resmi tidak ditepati. Kemudian pada tahun 1913 Gandhi juga memimpin demonstrasi untuk hal yang sama. Bedanya, dalam demonstrasi ini juga diadakan pelanggaran lintas batas dan ziarah menyeberangi batas-batas ke Transvaal di mana ribuan buruh tambang yang mogok kerja ikut menggabungkan diri.
Karena merasa panggilan hidupnya tidak hanya di Afrika Selatan saja, pada 1915 Gandhi kembali ke India. Pada awalnya Gandhi tidak banyak berkecimpung dalam aktivitas politik tetapi mengadakan perjalanan keliling India untuk mencari fakta-fakta tentang kondisi sosial, ekonomi dan agama rakyat India. Menyikapi buruknya kondisi rakyat India pada saat itu, pada tahun 1916 Gandhi memutuskan untuk terjun ke dunia politik dimulai dengan berpidato didepan mahasiswa Universitas Hindu di Benares. Di sini Gandhi mengemukakan pentingnya kebanggaan terhadap produk lokal India dan juga menyesalkan sistim Kasta yang telah menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan agama secara meluas. Pada 1917 Gandhi menyelenggarakan kampanye anti kekerasan (ahimsa) di Bihar (India utara) untuk membela kaum petani yang diperlakukan tidak adil dalam sistim perkebunan Indigo. Selanjutnya pada 1918 Gandhi dan pengikutnya melakukan mogok umum tanpa kekerasan di Ahmedabad untuk menuntut upah pekerja tekstil secara adil.
Gandhi mulai menggebrak pentas politik India dengan mengemukakan kelemahan Undang-Undang Rowlatt yang berisi aturan-aturan untuk menjaga keamanan tanpa mengindahkan hak-hak rakyat India. Gandhi menentang lahirnya UU ini dengan menjalankan gerakan berpegang teguh pada kebenaran (satyagraha) dan salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan gerakan tidak mau bekerja sama (non-cooperatioon movement). Rentang 1920 sampai 1922, Gandhi terpilih sebagai pemimpin Partai Konggres Nasional India. Pada periode ini Gandhi juga sempat memimpin kampanye massal melawan pembayaran pajak yang tidak adil. Karena kegiatan-kegiatannya itu, Gandhi dijebloskan ke penjara selama 2 tahun tetapi karena alasan kesehatan ia kemudian dibebaskan. Saat ia keluar dari penjara, iklim politik di India telah berubah dengan mulai berkobarnya perselisihan antara kaum Hindu dan Muslim.
Selama periode-periode selanjutnya, Gandhi sangat berjasa dalam mengubah ketimpangan sosial yang ada di India antara lain penghapusan gerakan untouchable yang merugikan kasta Paria, toleransi beragama bagi kaum Hindu dan Muslim, serta usaha swadeshi sebagai penolakan terhadap dominasi asing. Gandhi juga berjasa dalam penyelesaian pergolakan buruh dan majikan, penghapusan sistim perbudakan dan penghapusan pembunuhan lembu atas nama agama. Demikianlah, tahap demi tahap Gandhi memimpin India menuju kemerdekaannya yang sempat ia saksikan pada tahun 1947.
Pada 3 Juni 1947 berdasarkan kesepakatan Mounbatten Plan antara pemimpin Konggres Islam dan Inggris tercapai pembentukan negara India dan Pakistan pada Agustus 1947. Menanggapi pembentukan negara tanpa adanya persatuan seluruh India, Gandhi berusaha mendekati tokoh agama Hindu dan Islam untuk meredakan ketegangan antara keduanya. Akibatnya, seorang penganut Hindu fanatik, Nathuram Godse, yang khawatir nantinya akan ada dominasi Islam, melakukan penembakan terhadap Gandhi saat sesudah pertemuan doa pada 30 Januari 1948. Setengah jam kemudian Gandhi menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mengucapkan He Rama (Ya Tuhan).
Demikian riwayat hidup Gandhi. Atas seluruh jasanya, Rabindranath Tagore, seorang sastrawan besar India, menyebut Gandhi sebagai Mahatma atau orang yang berjiwa besar (the great soul). Inilah yang kemudian membuat orang mengenalnya sebagai Mahatma Gandhi.

C. Gandhi : Seorang Aktivis Yang Produktif Menulis
Fischer menyatakan bahwa Mahatma Gandhi adalah juru bicara umat manusia. Ungkapan ini didasarkan pada aktivitas-aktivitas dan karya-karya Gandhi selama hidupnya. Gandhi meninggalkan tulisan yang cukup banyak dan kebanyakan dapat kita lihat corak humanismenya. Karya-karya tersebut antara lain: A Guide to Health (1932), Hind Swaraj (1938), Autobiograhpy: The Story of My Experiments with The Truth (1940), Non Violence in Peace and War (Vol. 1/1945 dan 2/1949), Towards Non Violence Socialism (1951), Sarvodaya (1951), Basic Education (1951), Bapu’s Letter to Mira, 1924-1948 (1949), Christian Missions (1941), Communal Unity (1949), Delhi Diary (1948), Diet and Diet Reform (1949), Economics of Khadi (1941), For Pacifists (1949), From Yerafde Mandir (1937), Harijan (1948), The History of Satyagraha (1951), Jail Experiences (1922), My Souls Agony (1932), Rebuilding Our Villages (1952), Self Restraint Versus Self Indulgence (1947), Songs From Prison (1934), Speeches and Writing (1933), Swadeshi, True and False (1939), Towards New Education (1951), To a Gandhian Capitalist (1951), To the Students (1949), Unto This Last (1951), Woman and Social Unjustice (1942) dan Young India (1932). Selain karya-karya ini, masih banyak lagi kumpulan-kumpulan tulisan Gandhi yang tersebar di berbagai surat kabar.

D. Gandhi dan Filsafat Metafisikanya
1.Filsafat Gandhi: Tuhan, Manusia dan Alam Sebagai Tri-Tunggal
Secara umum filsafat Gandhi bersumber pada tradisi pemikiran India dan agama Hindu. Dalam hal ini, filsafat Gandhi menunjuk Tuhan sebagai ide utama dan unsur lainnya bersifat inferior. Tuhan yang dimengerti Gandhi bukanlah Tuhan sebagai personal karena kata itu menurut Gandhi menunjuk pada orang sebagai wujud konkrit. Meski impersonal, namun Tuhan yang memuaskan kebutuhan intelektual juga bukan Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan sesungguhnya adalah yang memerintah hati dan mengubahnya ke arah kebaikan. Menurut Gandhi Tuhan itu serentak sebagai kebenaran, pengetahuan dan cita-cita/tujuan (sat-cit-ananda).
Harus diingat juga bahwa Gandhi tidak berpretensi untuk menunjukan eksistensi Tuhan. Baginya, kehadiran Tuhan dapat dirasakan dan dilihat dari realitas dihadapan manusia, misalnya realitas alam yang teratur. Keteraturan alam bukanlah suatu hukum keteraturan yang buta sebab ia mempunyai arah. Hukum semacam ini oleh Gandhi dipahami sebagai Tuhan.
Selanjutnya, jalan menemukan Tuhan bagi Gandhi, adalah dengan melihat ciptaan-ciptaan-Nya. Bahkan Gandhi menyebut dirinya sedang berusaha keras melihat Tuhan melalui pelayanan kepada sesama manusia. Pendeknya, realitas manusia tidak semata-mata ordo alam tetapi juga ordo moral. Gandhi mengakui apa yang benar, yang berguna, dan yang menguntungkan bagi manusia itu tidak ada perbedaannya. Bagi Gandhi Tuhan itu tidak di surga ataupun neraka tetapi berada pada setiap orang dan inilah kebenaran. Pemikiran ini memuat gagasan bahwa meskipun manusia tidak mengakui adanya Tuhan, tetapi ia harus mengakui kebenaran. Menolak kebenaran berarti menolak realitas dan eksistensi manusia itu sendiri.
Kebenaran, dalam pemikiran Gandhi mencakup tida unsur yakni kebenaran pikiran, perkataan dan perbuatan. Sebagai norma tingkah laku, kebenaran merupakan cermin bagi manusia untuk berkomunikasi dan mempertimbangkan apa yang akan ia ikuti dan ia hindari. Adapun untuk mencapai kebenaran ini manusia harus bersatu dan berdamai dengan alam ciptaan Tuhan dengan cara Ahimsa. Ahimsa berarti bahwa manusia harus menghindari segala bentuk kekerasan dalam kehidupannya. Ahimsa juga merupakan kodrat manusia yang membedakannya dengan binatang. Manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan raga harus membuat ahimsa sebagai suatu sikap hidup dan keyakinan yang harus dikembangkan sehingga ia benar-benar berpegang kepada kebenaran yang sesungguhnya (satyagraha).
Dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa dalam konteks tri-tunggal: Tuhan, manusia dan alamlah Gandhi meletakan kerangka filsafatnya, meski unsur Tuhan paling dominan, dalam arti bahwa alam sebagai landasan, manusia sebagai pelaku dan Tuhan sebagai pencapaian tertinggi dari tinggal landasnya manusia.

2. Antropologi-Metafisik Gandhi: Manusia Sebagai Pelaku
Mengenai keberadaan manusia, Gandhi menyatakan bahwa secara esensial manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Selain itu manusia juga memiliki kesadaran, rasio, kehendak, emosi dan rasa keindahan. Dari keberadaannya itu, esensi aktivitas manusia di dunia menurut Gandhi adalah pembebasan. Pembebasan manusia merupakan satu langkah ke arah pembebasan seluruh umat manusia dari kedzaliman dan kekerasan dari orang lain dan dari diri mereka sendiri.
Gandhi juga menyatakan bahwa manusia tidak akan bebas jika ia tidak mengetahui bahwa dirinya dikuasai oleh kebutuhan, sebab kebebasannya selalu dimenangkan melalui upaya yang tidak pernah berhasil seluruhnya untuk melepaskan diri manusia dari kebutuhan hidup dan sampai penyatuan dengan hidup. Manusia memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya menuju kepada penyatuan dengan hidup atau malah terjerumus dalam kejahatan. Setiap perbuatan memiliki karma-nya sendiri-sendiri. Dalam hal ini Gandhi menekankan pelaksanaan 6 kebajikan tertinggi yang dijiwai oleh Filsafat India yakni ahimsa, satyagraha, brachmacharya, asteya, aparigraha dan abhaya.

a. Ahimsa
Secara ekstrim, seperti dalam agama Jain, ahimsa dimaknai sebagai tidak membunuh atau melukai setiap bentuk kehidupan, tidak berpikir tentang pembunuhan atau melukai setiap bentuk kehidupan. Pemikiran ini juga menganjurkan orang awam untuk hanya memakan organisme yang tak bergerak seperti tumbuh-tumbuhan. Bagi Gandhi ahimsa memang tidak se-ekstrim itu, tetapi nilai-nilai untuk menahan diri dari setiap usaha membunuh dan melukai setiap bentuk kehidupannya sama.
Tindakan ahimsa menurut Gandhi tidak bersifat statis melainkan dinamis. Contohnya, jika ada anjing gila yang mengancam keselamatan masyarakat sedang berkeliaran, maka membunuh anjing gila tersebut juga dibolehkan karena bertujuan untuk menyelamatkan nyawa anggota masyarakat dan menghentikan siksaan yang dialami anjing gila itu sendiri. Ahimsa juga merupakan kebajikan tertinggi, sebab tanpanya kebenaran tidak akan dapat direalisasikan. 2 hal penting dari ahimsa yakni: kewajiban untuk memperlakukan realitas sebagaimana diri sendiri, dan ahimsa sebagai induk kebajikan yang lain.

b. Satyagraha
Satyagraha berarti kebenaran, dan kebenaran yang dapat direalisasikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatanlah yang dapat disebut benar. Manusia dapat merealisasikan kebenaran hidup jika mampu mengendalikan 6 rintangan dalam etika India yakni, hawa nafsu, rasa marah, keserakahan, kebirahian, kesombongan dan kepalsuan. Ke-enam hal itu juga merupakan pengetahuan dasar bagi pecinta kebenaran.
Dalam arena politik, Gandhi menyatakan bahwa satyagraha mengambil 3 bentuk yakni; ketidakpatuhan sipil (civil disobedience), menolak kerja sama (non-cooperation) dan unjuk rasa (direct action). Dari berbagai bentuk tadi masih ada satyagraha dalam bentuk yang lain yakni puasa (mogok makan), yang diakui sebagai senjata pamungkas bagi seorang satyagrahi. Artinya, puasa baru dijalankan jika cara-cara di atas sudah tidak mempan lagi. Bagi Gandhi, puasa merupakan pendekatan yang efektif sebab puasa tidak hanya bertujuan untuk menyadarkan pihak lain agar bertobat dan kembali ke jalan yang benar, tetapi juga merupakan sarana pemurnian diri termasuk di dalamnya intensi-intensi pribadi.

c. Brachmacharya
Secara harafiah brachmacharya berarti tingkah laku yang menuntun manusia kepada Tuhan. Secara teknis berarti pengekangan diri terutama penguasaan dan pengendalian organ seks. Gandhi berpendapat bahwa Brachmachari (orang yang menjalankan brachmacharya) yang sempurna, sama sekali tidak memiliki dosa karena mereka dekat dengan Tuhan.
Brachmacharya mangandung beberapa ajaran antara lain: nafsu seks berakar dalam pikiran, praktek bracmacharya menghindari hal erotis, pembatasan aktivitas seks, diet, menghormati wanita, pengaturan kehidupan seks, perkawinan, keluarga serta mengontrol kelahiran.

d. Aparigraha
Secara ekstrim berarti memberikan harta milik pada orang lain. Tindakan ini merupakan pandangan tanpa milik. Meski demikian sebenarnya aparigraha bukan berarti orang tidak boleh memiliki harta duniawi, tetapi dalam kerangka pengabdian pada Tuhan dan pelayanan sesama manusia. Menurut Gandhi seluruh ordo sosial harus disusun kembali untuk membentuk masyarakat perwalian. Dalam masyarakat ini, kepemilikan dilihat sebagai titipan yakni apa yang aku miliki memungkinkan untuk kamu pergunakan; yakni alat produksi merupakan milik bersama. Implikasinya adalah tercukupinya kebutuhan dasar setiap manusia
Gandhi menyadari betul akibat fatal dari kemiskinan, tetapi ia juga menyadari akibat dari melimpahnya kekayaan. Keduanya memiliki dampak negatif yang sama. Pernyataan itu menunjukan bahwa bagi Gandhi manusia harus memiliki kesadaran terhadap dua dimensi hakikat manusia; yakni bahwa dimensi materialitas manusia tidak dapat dipisahkan dengan dimensi spiritualitasnya. Dalam aparigraha, Gandhi menegaskan bahwa kasih sayang yang sempurna hanya dapat direalisasikan melalui ajaran tanpa milik. Tubuh manusia adalah miliknya yang terakhir.

e. Asteya
Asteya diartikan sebagai tidak mencuri dan hal ini merupakan dasar bagi penentuan hak milik seseorang. Gandhi menyakatan bahwa mencuri merupakan tindakan yang salah dan buruk karena merugikan orang lain dan merupakan tindakan himsa, padahal manusia seharusnya melindungi semua realitas dan bukannya malah merugikannya.

f. Abhaya
Abhaya diartikan sebagai bebas dari semua rasa takut seperti takut akan mati, rasa lapar, penghinaan, penganiayaan, murka dan yang sejenisnya. Dalam hal ini manusia dituntut untuk memiliki keberanian, berani berkorban, bersabar, berbuat tanpa ketakutan pada semua realitas. Menurut Gandhi, manusia harus bebas dari rasa takut karena hal itu tidak pernah menjadi dasar moral.

3. Kosmologi-Metafisik Gandhi: Alam Sebagai Landasan
Konsep Gandhi tentang alam yang berjiwa material dan immaterial sebenarnya hanya mengikuti konsepnya tentang Tuhan, meski tidak terformulasi secara sistematis pada suatu tempat, hanya pada kesempatan secara kausal. Sebagai ciptaan Tuhan, keberadaan alam merupakan arena manusia mewujudkan dirinya dengan bimbingan moral. Bagi Gandhi, manusia hidup dalam arti yang sebesar-besarnya apabila ia bersatu dengan alam. Alam merupakan mitra yang senantiasa berhadapan dengan manusia. Menurut keyakinan Gandhi, alam merupakan jembatan bagi kehidupan yang abadi, sejauh hal itu di mengerti secara sadar. Oleh karena itu manusia perlu menyeleraskan diri dengan alam. Hal ini juga akan mendekatkan manusia pada peletak hukum alam yakni Tuhan.
Keprihatinan Gandhi terhadap alam diartikan sebagai kebijaksanaan untuk kembali ke alam (back to nature). Keyakinannya pada harmoni antara alam dan tubuh manusia di wujudkannya dalam kegemarannya pada naturopaty. Bagi Gandhi alam juga bukan merupakan manusia sehingga manusia tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap alam yang justru akan merugikan manusia sendiri.

4. Teologi-Metafisik Gandhi: Tuhan Sebagai Pencapaian tertinggi
Dalam seluruh filsafatnya, Gandhi memang menjadikan Tuhan sebagai titik sentralnya sedang unsur lainnya menyesuaikan dengan Tuhan dan bersifat inferior. Beriman kepada Tuhan, menurut Gandhi, juga merupakan pangkal tolak semua agama. Dengan menyebut agama, Gandhi menunjuknya bukan secara formal dan adat, melainkan sesuatu yang mendasari semua agama yang akan membawa kita bertemu dengan Tuhan. Agama juga merupakan unsur permanen dalam watak manusia yang tidak memperhitungkan berapapun harganya untuk mengungkapkan sepenuh-penuhnya serta membuat jiwa gelisah sampai dapat menemukan dirinya, mengenal Tuhannya dan menghargai hubungan yang sebenarnya antara Tuhan dan dirinya sendiri.
Gandhi memandang agama dengan menekankan nilai kemanusiaannya. Jadi, Tuhan dihayati Gandhi melalui semangat pengabdian. Semangat ini tidak hanya mengantarkan pada sikap toleransi terhadap pluralitas (kemajemukan) agama tetapi juga pada persaudaraan antara yang teis dan ateis dengan syarat ateis itu berusaha menuju kebenaran. Makanya meski Gandhi menyatakan God is Truth dan Truth is God, Gandhi menekankan yang terakhir dengan alasan bahwa yang ateis mungkin menolak eksistensi Tuhan, tapi mereka tidak mungkin menangkis kekuatan kebenaran.
Penghormatan pada agama lain adalah sama dengan agama sendiri. Oleh karena itu seharusnya tidak mungkin ada gagasan untuk berpindah agama. Manusia yang beragama dalam bersikap dan bertingkah laku harus mencerminkan keagamaannya. Moralitas merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan manusia. Agama dan moralitas adalah identik. Eksistensi dan kemajuan individu maupun masyarakat tergantung moralitasnya. Oleh karena itu pembersihan diri secara total, baik jiwa maupun raga sangat di anjurkan Gandhi. Orang harus membuang segala pikiran yang tidak baik dan jiwanya harus diisi dengan pikiran murni yang tinggi. Demikian juga tubuh harus bersih seperti jiwa. Dengan demikian orang akan insaf pada tujuan hidup yang paling murni yakni mengabdi pada Tuhan.

E. Gandhi dan Konsep Manusia Ideal

1. Manusia Ideal Yang Bersifat Antropokosmoteosentris
Secara garis besar, konsep manusia ideal menurut Gandhi bersifat antropokosmoteosentris. Manusia seperti ini adalah manusia dengan pengendalian diri yang baik, kedewasaan sosial dan mencintai alam serta penghayatan terhadap keberadaan Tuhan melalui agama yang dianutnya dalam kehidupannya yang dijalani secara damai dan tanpa kekerasan. Dengan konsep manusia ideal seperti ini, Gandhi mencoba menciptakan sebuah lingkup kemanusiaan universal di mana tiap-tiap kelompok, baik kaum penguasa maupun kaum tertindas, saling mengakui sebagai manusia yang sama derajat dan harkatnya sebagai manusia, bahkan menghidupkan kembali potensi kebaikan orang lain dalam kehidupan manusia

2. Manusia Dengan Kesadaran dan Pengendalian Diri
Dalam agama Hindu dikenal asumsi dasar bahwa manusia terdiri dari 4 lapisan yakni; lapisan tubuh jasmani, alam pikiran, pengalaman yang disadarinya dan sadar pribadi dimasa lampau. Agama Hindu juga mengajarkan bahwa jika manusia dapat memanfaatkan sedikit saja atman dalam tubuhnya, maka ia akan mengalami pemekaran kemampuan yang luar biasa.
Berdasarkan asumsi di atas, Gandhi sampai pada kesimpulan bahwa manusia harus berusaha mengungkap bagian yang hilang atau terpendam dalam tubuh manusia dengan mencapai kesadaran. Dalam hal ini Gandhi menambahkan bahwa mokhsa merupakan puncak dari kesadaran manusia karena ia berada dalam keadaan di mana badan, pikiran dan jiwanya selamat dari kelahiran kembali atau kematian. Kesadaran adalah menjadi ingat kepada jati diri manusia yang sesungguhnya sehingga mampu mengendalikan dirinya. Ketidakmampuan mengambil jarak dengan sesuatu yang berada di luar dirinya dan juga nafsu-nafsunya merupakan hambatan untuk menyadari atman dan hal ini akan mengakibatkan sesuatu terlahir kembali dan ini mungkin akan menjatuhkannya pada tingkat yang berada di bawahnya.
Menurut Gandhi, manusia perlu mengendalikan diri karena peradaban dalam makna kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghendaki dilipatgandakannya kebutuhan, melainkan menghendaki pembatasan segala kebutuhan dengan sengaja dan sukarela. Hanya dengan cara demikian akan dapat diperoleh kebahagiaan dan kepuasan sejati yang akan meningkatkan kemampuan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan. Hal ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern yang menggunakan tolak ukur tingkat kesejahteraan manusia dengan mengukurnya berdasarkan tingkat besarnya konsumsi. Manusia modern justru berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi kebutuhan hidup, manusia berarti lebih kaya dan sejahtera.
Memang, Gandhi sendiri menegaskan bahwa manusia memerlukan keserasian dan kenyamanan fisik pada tingkat tertentu, namun jika melebihi tingkat itu ia akan menjadi hambatan bagi manusia. Oleh karena itu, cita-cita manusia menciptakan dan memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas, hanya merupakan khayalan dan jerat belaka. Pemuasan kebutuhan fisik dan intelektual manusia pada titik tertentu harus dihentikan sepenuhnya sebelum ia berubah menjadi nafsu keserakahan fisik dan intelektual. Manusia perlu mengatur keadaan fisik dan budayanya agar tidak menjadi hambatan dan ini seharusnya menjadi tujuan bagi pemusatan seluruh tenaga manusia.

3. Manusia Dengan Kedewasaan sosial dan mencintai alam
Selain sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan, manusia juga adalah makhluk sosial karena ia hanya dapat hidup dengan komunikasi bersama sesamanya. Sesama dalam filsafat Gandhi bermakna religius, dimana keterpautan sesorang dengan yang lainnya bersifat religius dan merupakan tanggung jawab yang bersifat religius pula. Sesama juga berarti dari asal mula yang sama, nasib keterlemparan yang sama dan memiliki Tuhan yang sama. Semua manusia menurut Gandhi merupakan ciptaan Tuhan yang sama sehingga semua manusia bersaudara.
Dengan asumsi seperti di atas, manusia menurut Gandhi harus memiliki tingkat kedewasaan sosial yang tinggi. Tidak ada satu kebajikan tunggalpun yang akan mengarah atau akan merasa puas dengan kesejahteraan seseorang saja. Sebaliknya tidak ada kejahatan yang secara langsung maupun tidak, pasti akan mempengaruhi orang lain. Yang dimaksud kedewasaan sosial oleh Gandhi adalah kesadaran bahwa seluruh umat manusia merupakan kesatuan manunggal, sebagai ciptaan Tuhan yang satu. Tentu saja terdapat perbedaan suku, bangsa dan harkat serta martabat namun demikian saling menghormati merupakan kewajiban seluruh umat manusia.
Manusia juga harus mencintai alam, tempat dimana ia hidup. Sekalipun dalam alam cukup terdapat daya tolak, tetapi alam itu hidup berkat daya tarik. Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa sayang timbal balik. Manusia hidup bukan karena penghancuran. Rasa cita diri mendorongnya untuk mementingkan orang lain pula. Masyarakat dapat hidup rukun karena adanya rasa saling mengindahkan dikalangan warganya. Pada suatu saat, hukum masyarakat harus diperluas manusia agar mencakup seluruh alam semesta.
Gandhi menegaskan bahwa menurut keyakinannya krisis manusia modern sekarang diakibatkan oleh keranjingan produksi massal atau produksi secara besar-besaran. Alat-alat mesin mungkin dapat menyediakan seluruh barang keperluan manusia, namun produksi semacam itu jelas dipusatkan pada bidang tertentu. Sebaliknya, bila produksi dan penyalurannya dilaksanakan di daerah yang membutuhkan barang itu, segala sesuatu akan diatur itu sendiri, sehingga tidak ada peluang untuk kecurangan, dan sama sekali tertutup kemungkinan berspekulasi. Ketika disangka sebagai anti mesin, Gandhi menyangkalnya dan mengatkan bahwa ia menghindarkan pesona mesin yang merusak. Gandhi lebih menyukai alat-alat sederhana yang menyelamatkan kerja secara individual dan meringankan berjuta-juta desa serta bersifat padat karya.

4. Manusia Dengan Toleransi Beragama Dan Kesadaran Mengabdi Pada Tuhan
Menurut Gandhi, agama memang seharusnya meliputi setiap perbuatan manusia. Dalam filsafat Hindu saja dikatakan bahwa semua agama mengandung unsur kebenaran di dalamnya dan karenanya mengambil sikap hormat dan takzim terhadap sesama manusia. Tentu saja manusia harus hormat dan yakin pada agamanya sendiri dahulu. Dan mempelajari agama lain tidak perlu menyebabkan kurangnya kepercayaan pada agama sendiri. Seharusnya ini merupakan perluasan sikap hormat manusia atau toleransi kepada agama yang lainnya.
Selain itu, Gandhi melukiskan bahwa kehidupannya merupakan usaha keras untuk melihat Tuhan melalui pelayanan kepada sesama manusia. Hal ini karena Tuhan berada dalam diri setiap manusia maka pengabdian agama yang dianutnya diwujudkan sebagai pengabdian pada sesama manusia. Dalam hal ini cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada Tuhan berada pada satu perspektif.
Setiap manusia, menurut Gandhi, juga benar dalam agamanya bila dilihat dari sudut pandangnya, tetapi tidak mungkin bahwa setiap manusia keliru. Di sinilah letak perlu adanya toleransi kehidupan beragama, yang tidak lalu berarti acuh tak acuh terhadap keyakinan diri sendiri, tetapi anggaplah ini sebagai sikap lebih cerdas serta mencintai agama dengan lebih murni. Toleransi memberi manusia wawasan rohani, sesuatu yang berbeda sama sekali dengan fanatisme. Pengetahuan mendalam tentang agama akan menghilangkan hambatan antara keyakinan yang satu dengan yang lainnya. Keyakinan manusia terhadap Tuhannya seharusnya menjadi pusat sentrifugal dari seluruh aktivitas manusia, yang bermula dari keyakinan pada ke-esaan Tuhan, toleransi beragama dan menebarkan jaring pada kesatuan eksistensi manusia.

F. Manusia Antropokosmoteosentris Mengatasi Zaman Modern
Konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris dimaksudkan Gandhi sebagai salah satu upaya mencari kebenaran. Asumsinya, kehidupan manusia adalah proses untuk mencoba dan belajar dari kesalahan dengan mawas diri dan disiplin yang kuat, manusia bergerak maju selangkah demi selangkah menuju pada sifat antropokosmoteosentris. Manusia antropokosmoteosentris diyakini akan mampu mengantisipasi peradaban manusia yang senantiasa menuntut perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Terlebih bila dikaitkan dengan melaju kencangnya transformasi iptek. Manusia pada permulaan kehadirannya di bumi, tingkah lakunya tidak jauh berbeda dengan hewan yakni saling memangsa dan hingga kini kita masih bisa melihat kebuasan-kebuasan manusia. Dengan kemajuan ipteknya, dunia modern telah melahirkan manusia-manusia seperti kelompok nazi jerman, militer-fasis jepang, komunis cina, eropa timur dan soviet dan berbagai kekuasaan totaliter dibelahan benua lainnya yang telah menistai kemanusiaan mereka dengan kekejaman yang tidak berperi kemanusiaan.
Apabila diamati secara seksama, dewasa ini beberapa kawasan dibelahan dunia, dalam persoalan yang menyangkut hubungan antar individu dan masyarakat secara mikro, dan hubungan antar bangsa secara makro, selalu saja diwarnai dengan kekerasan, meski masing-masing bertumpu pada satu dalih untuk menjustifikasi tindakan kekerasan tersebut. Di samping itu, pencegahan persaingan senjata nuklir juga harus segera dilakukan jika manusia modern tidak ingin melihat dunianya porak-poranda. Untuk menghindari hal demikian, satu-satunya jalan yakni masing-masing pihak harus meredam hawa nafsu kekerasannya.
Manusia antropokosmoteosentris dengan kedewasaan sosial dan mencintai alamnya menyadari bahwa kepentingan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan fisik bumi dan atmosfer akan lebih mendorong manusia untuk melakukan transformasi sosial dan budaya ke arah kemanusiaan yang semakin tinggi. Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk mengurangi kadar pemakaian kekuasaan dan kekerasan, dalam segala rupa untuk menyelesaikan beragam problem manusia di zaman modern ini. Dengan demikian, akan semakin besar pula kesadaran dan pengendalian diri kemanusiawian umat manusia.

G. Manusia Antropokosmoteosentris Yang Terkesan Utopis
Pada dasarnya, Gandhi adalah seorang yang beragama, tetapi rumusan mengenai agama yang disetujuinya dalam konsep manusia antropokosmoteosentris tidak lain adalah rumusannya sendiri. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa kebutuhan rohani setiap manusia bersifat unik dan setiap orang mempunyai hak untuk mengatur hidupnya sendiri sesusuai dengan pandangan hidupnya, asalkan ia menjamin hak yang sama kepada orang lain. Oleh karena itu dalam praktek pencarian konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris ini, manusia tidak boleh memaksakan pandangannya mengenai kebenaran kepada sesamanya, apalagi dengan cara kekerasan.
Dari anggapan dasar bahwa manusia pada hakikatnya baik, dapat ditarik kesimpulan jika Gandhi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia kehadirannya tidak merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia yang lain. Oleh karena itu, manusia antropokosmoteosentris harus selalu menekankan aspek hubungan yang harmonis antara sesama manusia dan dengan alamnya.
Yang paling menarik dari konsep manusia seperti di atas adalah keluasan, keterpaduan dan kesatuannya. Inilah ajaran dan warisan bahwa kejahatan dari manusia tidak dapat dibinasakan. Kejahatan dari manusia adalah kejahatan bersama dan harus dipecahkan bersama-sama pula. Tetapi manusia terkadang tidak siap untuk tugas bersama karena ia tidak menyadari dirinya dan tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kalau sudah begitu, tugas manusia adalah kembali kepada hati nuraninya sendiri agar kehidupan dunia menjadi damai.
Sayangnya, dalam konsep manusia ini Gandhi tidak mengidentifikasi lingkungan pribadi manusia dengan lingkungan suci. Gandhi juga tidak menjauhkan diri dari kegiatan masyarakat sekular. Ini menjadi kontradiktif karena pada kesempatan lain Gandhi terkadang memandang bahwa struktru sosial dan budaya manusia pada dasarnya adalah sekular, dalam arti bahwa praanggapan-pra-anggapannya yang paling mendasar adalah tidak religius, akan tetapi ia seringkali menggunakan klise religius sebagai dukungan.
Dalam konsep manusia ideal menurut Gandhi ini, konsep ahimsa juga paling sedikit dipahami karena konsep ini mengandung penolakan secara implisit terhadap gagasan dasar masyarakat industri yang makmur. Konsep satyagraha yang dianjurkan juga menjadi tidak berarti jika tidak didasarkan pada kesadaran akan keberadaan pertentangan-pertentangan intern dalam kelompok manusia yang berlandaskan kekuatan. Padahal, sesungguhnya satyagraha ini harus memulai dengan menempatkan diri menghadapi pengaduan-pengaduan ini agar dapat dikaji kesungguhan manusia tentang kesetiaannya terhadap kebenaran.
Hannah Arrendt pernah menegaskan bahwa dalam konsep manusia antropokosmoteosentris ini, Gandhi menggunakan logika yang agak sedikit berbeda. Arendt mengakui bahwa dosa manusia adalah kejadian sehari-hari yang sesuai dengan sifat yang sangat alamiah dari pembentukan secara konstan tindakan hubungan-hubungan baru dalam suatu jaringan hubungan-hubungan. Selain itu, manusia memang membutuhkan pengampunan, pelepasan, untuk memungkinkan kelanjutan hidupnya yang dilakukan secara konstan dan untuk membebaskan manusia dari hal-hal yang mereka perbuat tanpa mereka sadari. Dari penjelasan ini, kita bisa melihat bahwa ada hubungan yang tidak seimbang antara konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris dan kenyataan riil yang ada pada manusia dimasyarakat, dan untuk itulah Gandhi hidup dan meninggal dunia. Perubahan antara kenyataan riil manusia terhadap manusia antropokosmoteosentris tidak akan merupakan perubahan yang sungguh-sungguh terjadi.
Akhirnya seperti yang dibilang Gandhi, bahwa manusia berakhir menjadi seperti apa yang dipikirkannya, maka demikian juga dengan India, asalkan tetap memegang teguh kebenaran dengan menggunakan 6 kebajikan tertingginya. Akan tetapi disisi lain Gandhi sendiri mengakui bahwa secara politis pertempurannya sesungguhnya sudah kalah. Tanpa berpuas diri, kasihan pada diri sendiri, ia hadapi kebenaran bahwa hanya tinggal satu saja. Gandhi harus menyerahkan jiwanya bagi India, nyatanya ia dibunuh oleh seorang saudara-nya yang justru gagal diyakinkannya.
Dari paparan di atas, apakah konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris ini akan dapat direalisasikan ataukah akan sia-sia saja, Gandhi sendiri tidak pernah putus keyakinannya, hingga meninggalkan kesan pada sesamanya maupun musuhnya serta membangkitkan padanya suatu tanggapan cinta-kasih serta kebenaran yang ingin dicapai manusia. Sikap ini tidak dapat dimengerti dalam konteks pragmatisme sebab yang menjadi pokok masalah adalah kesetiaan manusia pada kebenaran, bukan dampak nyata pada sesamanya.
Sebagai penutup, konsep manusia ideal yang bersifat antropokosmoteosentris memang harus dilihat apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan sekedar idealisme yang sering dianggap utopis dan asketis, tetapi harus dipandang sebagai ajaran yang esensial, yang niscaya diperlukan jika manusia ingin memulihkan kembali hati nuraninya dalam menghadapi perubahan peradabannya yang sarat dengan problema. Wallahu a’lamu bi al-shawab!

(Tulisan ini telah dimuat di: Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2, Juli 2007, Jakarta: Universitas Paramadina, hal. 106-128; Oleh: Suratno)

1. Penulis adalah Dosen Departemen Falsafah dan Agama dan Peneliti PSIK, Universitas Paramadina, Jakarta. Ia juga Dosen STAINU dan Wakil-Direktur LP3M, Jakarta.
2. Erich Fromm, 1987, Memiliki dan Menjadi (Terj. Soesilo), Jakarta: LP3ES, hal.10
3. Van derWeij, 1991, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Terj. K. Bertens), Jakarta: PT Gramedia, hal.1
4. H. Titus, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat (Terj. H.M Rasjidi), Jakarta: PT Bulan Bintang, hal.9
5. N. Balabanian, 1980, Benarkah Teknologi Itu Netral?, Jakarta: PT USICA, hal.1
6. Kaba Gandhi ini dikenal sebagai seorang yang jujur, berani dan murah hati serta tidak mudah disuap, meskipun cepat naik darah. Sifat-sifat inilah yang mengesankan Gandhi sehingga ia merasa telah benar-benar menemukan figure ayah dalam diri Kaba Gandhi, meski beliau baru membaca Gita, salah satu kitab suci agama Hindu, pada saat-saat terakhir hidupnya.
7. Kesalehan Putlibai bisa dilihat bahwa ia seringkali ber-mati raga pada bulan-bulan puasa dan hampir tiap hari mengunjungi kuil-kuil Vaishnava.
8. Louis Fischer, 1967, Gandhi: Penghidupan dan Pesannya Untuk Dunia (Terj. Oesman Efendi), Jakarta: PT Pembangunan, hal. 15
9. Gandhi, 1985, Gandhi: Sebuah Otobiografi (Terj. Gd Bagoes Oka), Denpasar: Yayasan Bali Canti Siwa, hal.26
10. Ibid, hal.46
11. Lihat Wahana Wegig, 1986, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Kanisius, hal.1
12. Tempat dimana orang-orang India di Natal bisa tinggal di situ. Di sini pula Gandhi mulai mengajarkan kehidupan sederhana dengan mengerjakan pemenuhan kebutuhan hidup sendiri (swadeshi). Gandhi juga mulai mengajarkan hidup tanpa kekerasan (ahimsa).
13. Lihat Cremers, 1994, Luther dan Gandhi: Telaah Psikohistorik Erik Erikson, Flores: Penerbit Nusa Indah, hal.67-68
14. T.S.G. Mulia, 1959, India: Sedjarah Politik dan pergerakan kebangsaan, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, hal.173
15.Cremers, 1994, op.cit, hal. 70.
16. Gerakan untouchable yakni larangan untuk menyentuh kaum dari kasta paria dalam arti berurusan dengan mereka dalam segala hal. Kasta paria merupakan kasta terendah dalam agama Hindu.
17. Gandhi, 1985, op.cit, hal.378-380.
18. Lihat Gandhi, 1949, Non Violence in Peace and War, Ahmedabad: Navajivan Publishing House, hal.378-380.
19. Louis Fischer, 1967, op.cit, hal.11
20. Lihat Muchtar Lubis, 1988, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.219
21. Lihat Wahana Wegig, 1986, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal.16
22. Ibid, hal.17
23. Lihat Hannah Arrendt, 1958, The Human Condition, USA: Chicago University Press, hal.121
24. Satyagrahi adalah orang yang menjalankan satyagraha
25. Wahana Wegig, 1986, op.cit, hal.53-54
26. Lihat Louis Fischer, 1967, op.cit, hal.41
27. Lihat Mohan Datta, 1953, The Philosophy of Gandhi, USA: Wincosin University Press, hal.49
28. Naturopaty adalah suatu cara pengobatan penyakit dengan menggunakan unsur-unsur alam seperti air, cahaya, tanah dan udara.
29. Lihat Prabbhu, 1945, The Mind of mahatma Gandhi, London: Oxford University Press, hal.85
30. Gandhi, 1988, Semua Manusia bersaudara (terj. Koestiniyati Muhtar), Jakarta: yayasan Obor Indonesia, hal.70
31. Martin Sardy, 1985, The Philosophy of Gandi: A Study of his basic ideas, sebuah resensi buku dalam majalah Basis, vol.34 Maret 1985, hal.113
32. Nirmal Kumar Bose, 1968, Selection From Gandhi, Ahmedabad: Navajivan Publishing House, hal.39
33. Schumacher, 1981, Small is Beautiful, Jerman: Tanpa penerbit, hal.55
34. Tendulkar, 1952, Mahatma: Life of M.K. Gandhi, Bombay: Vitalbha. K. Jhaveri, hal.360
35. Thomas Merton, 1992, Gandhi: tentang Pantang kekerasan, Jakarta: yayasan obor Indonesia, hal.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar